Langsung ke konten utama

Iuran Sampah

Asap Pembakaran Sampah di Depan Rumah

Iuran sampah adalah hal yang lumrah bagi masyarakat perkotaan atau lingkungan perumahan. Tapi bagi masyarakat desa, ini adalah hal yang baru. Saking barunya, lebih banyak yang memilih untuk tidak ikut iuran ketimbang yang ikut.

Sekitar akhir tahun lalu, lingkunga RT-ku mulai menginisiasi program iuran sampah. Entahlah, mungkin program ini hanyalah formalitas supaya mereka kelihatan mengeksekusi program kerja. Ya tahu sendiri lah bagaimana para pejabat, latah akhir tahun.

Tapi, hei, setidaknya program formalitas kali ini cukup masuk akal ketimbang program mereka tahun kemarin yang membangun balai pertemuan yang sampai sekarang juga terbengkalai karena jarangnya pertemuan antar warga. Program iuran sampah kali ini jauh lebih baik.

Namun demikian, sepertinya tidak semua warga tidak mau berpartisipasi. Dari tujuh rumah yang ada lingkungan gang rumahku, hanya satu rumah saja yang ikutan. Iya, satu rumah itu adalah orang tuaku.

Memang sih program ini sifatnya opsional. Warga tidak dipaksa wajib untuk mengikuti. Tapi, menolak program ini adalah adalah masalah.

Mungkin orang-orang yang menolak program ini berpikir tidak ada permasalahan sampah di sini. Tidak banyak sampah beserakan di lingkungan. Tidak ada ceritanya lingkungan kami banjir akibat sampah. Dan warga sendiri bisa dengan mudah membakar sampah rumah tangga sendiri. Jadi, tak ada masalah.

Benarkah demikian?

Okey, memang aku akui, aku tidak menemui banyak sampah beserakan. Ya mungkin ada satu dua bungkus jajan di sana sini. Tapi bandingkan dengan lingkungan perumahan dan perkotaan, aku tidak pernah menemui sampah menumpuk menggunung seperti itu.

Mungkin karena warga desa sini rutin membakar sampah mereka sendiri, sehingga tak terjadi penumpukan. Tapi menurutku justru itulah masalahnya.

Membakar sampah sendiri, ini adalah masalah. Yang paling mudah dilihat adalah asap pembakarannya. Ya Allah, ini sangat mengganggu. Satu rumah membakar sampah aja, asapnya bisa menyelinap masuk di setiap rumah di setiap arah mata angin asap itu, dan bertahan paling enggak satu jam. Bayangkan jika setiap rumah membakar sampah mereka sendiri. Benar-benar mengganggu kenyamanan.

Ini masih soal kenyamanan, belum soal kesehatan organ pernapasan, atau dampak ke tanah resapan yang notabene sumber air orang sini mengambil dari air resapan tanah di lingkungan mereka sendiri. Namanya orang desa, mereka belum begitu terdidik untuk memilah mana sampah yang bisa dibakar, mana yang bisa diserap baik oleh tanah, mana yang jadi racun. Jadi, potensi bahayanya lumayan.

Mungkin mereka berpikir membandingkan dengan orang jaman dulu. Kakek buyut dan orang tua kita kan udah biasa tuh aktifitas bakar sampah rumah tangga sendiri, dan gak ada masalah tuh?

Iya, bener. Tapi jaman sudah berubah. Orang jaman dulu tempat tinggalnya tidak sepadat sekarang. Antar rumah bisa jadi berjarak satu sawah. Jadi kalaupun ada gangguan asap pembakaran, paling-paling cuma mengganggu satu rumah pemilik sampah itu sendiri.

Ditambah, sampah jaman dulu tidaklah se-toxic sekarang. Bayangkan, sampah apa yang dihasilkan? Paling-paling daun pisang kering, atau bekas gabah. Jarang tuh ada plastik, botol, timbal. deterjen, baterai yang meracuni tanah.

Aku masih ingat jaman aku kecil dulu, aku dan teman-teman sering main di juglang (bagian pekarangan rumah untuk buang dan bakar sampah), mencari cacing buat mancing. Dan memang juglang itu masih bersih, jarang ada sampah plastik. Kebanyakan sampahnya organik. Mungkin satu-satunya kekhawatiran orang tua saat anaknya main di juglang hanyalah takut ada belahan beling yang mungkin para orang tua lupa membuangnya di sana.

Tapi aku lihat juglang jaman sekarang, haduh, aku kira cacing pun sepertinya tidak mau tinggal di sana.

Jadi, ya, aku pikir sudah saatnya masyarakat desa ini mengubah cara pengolahan sampah mereka. Jangan lagi membuang dan membakar sampah domestik di lingkungan rumah mereka sendiri. Itu sangat mengganggu dan tidak sehat.

Aku harap semua warga sadar dan mau ikut iuran sampah. Toh biayanya cuma Rp 18.000, per bulan. Ini sangat murah. Bandingkan dengan biaya di kota. Sewaktu aku kuliah, asrama di perumahan Manyar Surabaya, biaya sampahnya Rp 100.000 kalau gak salah. Dan di akhir tahun biaya itu naik.

Pumpung tanah di lingkungan sini belum tercemar. Pumpung sungainya juga belum mampet oleh sampah. Ada baiknya sejak sekarang sudah dikelola sampahnya secara kolektif.

Komentar