Langsung ke konten utama

Andai Dulu Aku Lebih Berani

Aku bermimpi, mengunjungi sekolahku. Well, sebenarnya bukan sekolah pada umumnya, karena nampaknya lebih seperti perguruan silat yang berada di atas pegunungan, mirip film Dr. Strange atau Shang-Chi. Ya maklumlah, namanya juga mimpi, gak sesuai kenyataan.

Tapi perasaan mengunjungi perguruan tersebut, itu mirip sekali seperi perasaan andaikan aku mengunjugi sekolahku. Di sana ada teman-teman sesama alumni. Ada guru dan murid yang sedang melakukan pembelajaran.

Aku menuju halaman belakangnya. Aku lihat ada tembok, pagar, atau lebih mirip seperti tebing, mengitari sekolah tersebut.

Pada sebagian tebing tersebut, ada jalan terjal, mengarah pada satu pintu gerbang, terletak pada puncak atas tebing.

Aku hampiri, dan susuri jalan terjal itu. Tiba-tiba aku teringat semacam kenangan, bahwa selama masa sekolahku, rasanya aku tidak pernah mendekati pintu gerbang atau bahkan menapaki jalan terjal ini.

Sepertinya semasa sekolahku, aku terlalu fokus pada pelajaran, tidak pernah mau menyempatkan bermain, terlau menurut larangan untuk menghindari tebing tersebut. Padahal teman-teman lain melakukannya. Terlalu takut untuk mendaki jalan terjal tebing tersebut.

Namun karenan sekarang sudah dewasa, aku sudah cukup berani untuk mendaki jalan terjal tebing tersebut. Sampailah aku di pintu gerbangnya. Betapa kagumnya. Aku lihat pemandangan penuh pegunungan. Dihiasi pula oleh sinar mentari terbenang yang langsung mengarah pada pintu gerbang tersebut.

Muncul rasa penyesalan, kenapa aku tidak pernah menikmati suasana ini ketika aku masih sekolah? Kenapa baru sekarang ketika aku sudah alumni?

Aku merasa iri pada teman-temanku yang melakukannya. Ya, aku punya sekelompok teman semasa SMA. Gak sebegtu dekat, hanya semacam teman satu organisasi ekskul. Tapi itulah penyesalanku, kenapa aku tidak beusaha dekat dengan mereka. Karena jika dekat semenjak dulu, mungkin sekarang masa dewasaku akan punya teman.

Teman-teman ini dahulunya punya aktifitas yang asyik, seperti jalan-jalan, jajan, belajar bareng. Ya kalau di mimpi ini mereka disimbolkan bermain-main di jalan terjal tebing ini, dan entahlah, mungkin menikmati suasana matahari terbenam bareng-bareng. Suasana yang tidak pernah aku alami semasa sekolahku.

Dengan rasa iri dan menyesal, aku turun dari tebing tersebut. Perasaan sesal itu sebegitu kuat sampai aku ingin sekali mengubah memori ingatanku. Aku berharap dengan mengubah memori, akan mengubah kenyataanku juga. Kalian tahu, seperti film Butterfly Effect, atau game Life is Strange.

Lalu tiba-tiba seorang teman menghampiriku. Dia adalah salah seorang dari sekelompok teman di atas. Perempuan, dahulu aku punya perasaan ke dia. Mungkin sekarang masih punya. Tapi tenang, perasaan ini bukan yang romantic thing. Lebih ke cinta persahabatan. Ya kita akan bicara soal ini nanti, karena aku punya pemahaman tertentu tentang macam-macam jenis perasaan cinta.

Ketika menghampiriku, si teman ini berkata, “Entah seberapa kuat rasa sesalmu, dan entah apa memori yang tadi kamu ubah. Tapi lihatlah yang terjadi pada tempat ini.”

Seketika suasana perguruan tersebut berubah. Jalanan tebing itu tak lagi sebegitu terjal. Malah ada setapak jalan landai yang langsung menuju pintu gerbang mentari terbenam.

Lalu dengan menggandeng tanganku, si teman tadi mengajakku kembali ke pintu gerbang. Di sana kudapati teman-teman lain juga menunggu, sedang menikmati suasana mentari terbenam.

...

Baiklah, kita kembali ke kenyataan. Aku tahu ini hanyalah sebuah mimpi. Apa yang terjadi di dalamnya, perguruan silat, tebing terjal, gerbang mentari terbenam, semua itu khaysalan, tak pernah aku aku alami di dunia nyata.

Tapi mimpi adalah simbol. Dan yang terjadi di sana, menyimbolkan sesuatu pada dunia nyataku. Ya, perasaan sesal dan iri tersebut nyata bagiku.

Sampai sekarang aku masih menyesali pilihan hidupku semasa sekolah. Kenapa dahulu aku tidak menikmatinya? Kenapa aku begitu penakut untuk berteman dan bersenang-senang? Kenapa aku terlalu penurut pada orang-orang yang melarang ini itu yang bahkan aku tidak jelas kenapa harus melakukan itu?

Jika diberi kesempatan untuk kembali ke masa itu, aku akan lebih memilih hidup lebih berani, lebih jujur terhadap apa yang aku ingin dan butuhkan. Aku akan hidup to the fullest.

Aku akan bilang ke teman-temaku, that I love them, I want to be friend with them. Aku akan lebih sering-sering mendaki tebing itu, dan menikmati matahari terbenamnya.

Andaikan pada masa lalu aku mengambil jalan begitu, mungkin kondisiku sekarang akan berbeda. Entahlah, bisa lebih baik, atau lebih buruk, seperti di film dan game.

Tapi apapun akibatnya, setidaknya aku sudah memilih dengan benar-benar memilih. Bukan karena ketakutan atau paksaan. Setidaknya, aku sudah memilih untuk hidup, bukan hanya bertahan.

Namun demikian, itu hanyalah khayalan. Tidak ada mesin waktu. Atau belum ada. Mimpiku tadi hanya mimpi, untuk mengingatkanku pada salah satu penyesalan dalam hidupku.

Atau mungkin mimpi itu bukan untuk masa laluku, tapi mengingatkanku untuk hidupku masa sekarang. Bahwasannya aku tahu ada penyesalan terhadap masa lalu. Maka jangan ulangi. Hiduplah seperti yang kau inginkan mulai saat ini. Dan mari kita ciptakan kenangan yang lebih baik.

Komentar