Langsung ke konten utama

Film Ready Player One

Film Ready Player One, ini termasuk film lama. Hanya saja aku baru menontonnya malam tahun baru kemarin. Ya aku tahu, sudah telat untuk membuat review. Tapi pumpung masih hangat membahas tentang konsep metaverse, jadi sekalian bahas film ini yang temanya serupa.

Sebelumnya aku bahkan tidak tahu kalau ada film seperti ini. Kalau tidak dari melihat komenan salah satu video tentang teknologi VR di Youtube, mungkin aku tidak akan pernah tahu.

Aku tidak akan bohong, film ini sangat keren bagiku. Mulai dari konsep yang ditawarkan, jalan cerita, grafik... Tidak heran, orang barat mah... Ya mungkin masih tidak sesempurna film Marvel Universe, tapi Ready Player One ini cukup berkesan buatku.

Berikut hal yang membuatku terkesan.

Original Concept

Konsep cerita film ini sebenarnya bisa digolongkan sebagai science fiction, mengambil latar belakang kehidupan masa depan. Ada banyak film bertema futuristik, seperti Starwars atau semacamnya.

Tapi konsep film ini cukup unik, dia mengambil tema tentang perkembangan teknologi VR dan dunia maya, atau lebih tepatnya dunia metaverse. Sejauh ini sih, aku belum menjumpai film yang mengangkat tema ini. Jadi aku merasa ini film yang unik, konsep yang baru.

Eksekusi yang Tepat

Mengambil konsep yang unik biasanya terdapat resiko, yaitu eksekusi yang tidak tepat. Jadinya konsep tersebut hanya gimmick semata. Contoh ada salah satu film mengambil konsep sejarah perjalanan seorang muslim di daerah eropa utara. Tapi film tersebut kurang menunjukkan konsep “muslim di eropa utara”-nya, jadinya hanya seperti film sejarah perjalanan biasa pada umumnya.

Secara umum, film ini kan ceritanya tentang kehidupan gamer di masa depan yang menjalani misi di dunia maya (gaming). Dan film ini cukup bisa menggambarkan dan mewakili seluk beluk kehidupan para player tersebut.

Film ini menggambarkan dengan tepat impian tiap gamer, yaitu ingin masuk ke dunia game secara nyata, bebas berkeliaran, mencari uang, teman, dan pacar. Bahkan sampai bisa merasakan sentuhan secara fisik saat bermain game.

Film ini juga menggambarkan kebiasaan para gamer yang suka mendesain avatar dirinya, menggunakan nama user yang bukan nama aslinya, dan sebagainya. Bahkan lebih detail, film ini juga menggambarkan ada gamer anak kecil yang masih di bawah umur, dengan karakternya yang suka show off, menggunakan nama user yang hampir sama dengan nama aslinya.

Dengar, aku pribadi bukan gamer yang sangat gamer. Aku cuma main game secara casual. Tapi jika aku jadi gamer yang aktif, mungkin aku bakal merasa film ini cukup mewakili bagaimana kehidupan gaming-ku.

Referensi Pop Culture di Dunia Gaming

Kalau melihat konsep cerita film ini seperti yang aku sebutkan di atas, maka jelas pasar utama film ini adalah para gamer, ya kan?! Untuk pasar seperti itu, maka film ini haruslah menampilkan sesuatu yang membuat para gamer merasa puas dengan cara menyentuh culture mereka.

Film ini melakukannnya dengan baik. Mereka tampilkan banyak detail pop culture di dunia gaming, seperti ada karakter Batman, Kong, Ninja Turtle, prajurit Star Wars, Mortal Combat, sampai Mechagodzilla. Bruh... pas ada adegan Mechagodzilla aku sampai teriak!

Tapi yang paling berkesan menurutku adalah dimunculkannya Gundam. Njir, Gundam cuy! Aku pribadi nggak nyangka Gundam bakal muncul. Ini adalah karakter klasik. Setiap anak laki-laki seusiaku mungkin pernah sekali ingin memiliki robot Gundam di dunia nyata. Ini adalah impian lama yang entah sudah berapa tahun terpendam, hampir tidak pernah muncul lagi di permukaan. Dan film ini membawa nostalgia itu kembali. Secara harfiah aku menangis ketika melihatnya.

Logika Sistem Sosial

Aku kira film atau cerita fantasi yang bagus tidak hanya keren dalam konsep kekuatan supernya atau semacamnya, tapi juga harus memikirkan bagaimana logika sistem masyarakatnya bekerja.

Karena antar sektor masyarkat itu terhubung dan saling mempengaruhi. Misal jika dalam suatu masyarakat ada sistem budaya lumrah menggunakan sihir, maka pasti ada pengaruhnya ke sistem ekonominya, misal akan ada pertukaran barang dan jasa sihir atau semacamnya.

Nah, film ini cukup keren dalam memprediksi sistem masyarakat yang bakal terjadi jika terdapat teknologi dunia metaverse. Dijelaskan dalam film tersebut, karena game di dunia metaverse sangat populer, setiap orang bermain di dalamnya, maka pasti ada suatu perusahaan yang ingin menguasai dunia metaverse tersebut.

Perusahaan tersebut sampai sengaja mempekerjakan karyawan yang khusus untuk ikut main dalam upaya memenangkan permainannya. Pekerjaan mereka, ya memainkan permainan.

Jadi dalam hal ini, adanya teknologi metaverse tersebut, menyebabkan sistem ekonominya memunculkan jenis mata pencaharian baru, yaitu gamer.

Hal ini persis seperti yang aku bayangkan jika suatu saat nanti memang terealisasi adanya dunia metaverse. Pasti akan ada orang-orang yang cari uang tak lagi dunia nyata konvensional, tapi ya di dunia metaverse tersebut. Atau bahkan mungkin akan muncul orang kaya, influencer, pemilik tanah, atau penguasa politik tersendiri dalam dunia tersebut.

Pesan Moral yang Tepat

Awal-awal film ini ditunjukkan betapa kerennya hidup di dunia maya. Bisa main game, balapan, berjudi, menjalin relationship, bekerja. Membuat terpesona, tampaknya film ini hendak mengajak penontonnya untuk memimpikan hidup di dunia metaverse tersebut.

Namun pada akhir film, ditunjukkan bahwa game hanyalah game, tempat untuk lepas dari kehidupan nyata. Sedangkan kehidupan yang sesungguhnya, ada di kehidupan nyata. Jadi, bolehlah kamu bermain game, namun jangan menjaga jarak dengan dunia nyata. Kamu kan harus tetap makan, dengan makanan.

Ini agak aneh menurutku. Karena jika melihat konsepnya, harusnya film ini menyasar penonton yang merupakan para gamer. Namun ternyata film ini cukup berani menyodorkan pesan moral yang berlawanan dengan kebiasaan gamer. Film ini malah menyuruh untuk jangan terlalu terikat dengan permainan game.

Aku pikir ini pesan moral yang tepat. Dengar, aku sendiri bukan tipikal orang yang menolak game. Aku juga suka game, meskipun bukan yang sangat aktif. Tapi aku juga sering memainkan game untuk bisa lolos dari suramnya kehidupan nyata.

Namun demikian, aku selalu memiliki pikiran di belakang kepalaku, bahwasannya aku tetap harus connect dengan kehidupan nyata tersebut, sesedih apapun itu. Karena, realitas itu kan dualisme, seperti dua sisi mata koin. Dibalik kesedihan, pasti ada suatu keindahan. Mereka adalah satu kesatuan kenyataan.

Lagipula, rujak manis di dunia nyata kan lebih enak daripada yang digital.

Komentar