Sempet dengar orang tua ngobrol, ngomongin anak muda jaman sekarang yang penghasilannya tidak pernah cukup bisa beli rumah. Aku kira anak muda yang dimaksud itu termasuk aku dan kakakku.
Memang aku akui, generasinya bapak ibu itu kayak gampang banget gitu bangun rumah. Bapak ibu aja sekarang sudah punya dua rumah yang bisa diwariskan ke kedua anaknya. Bahkan katanya andaikan dulu kakek tidak menjual tanah ke orang lain, mungkin bapak akan beli tanah itu dan dibangun rumah juga.
Dibandingkan dengan generasiku, atau kakakku, kami berdua belum bisa bangun apa-apa. Tidak ada uang untuk beli tanah, apalagi beli rumah.
Bagi aku dan kakak sih gak begitu masalah ya kalau gak bisa bangun rumah. Karena kita sudah ada tinggalan rumah dari orang tua, juga gak ada gensi untuk tinggal sama orang tua.
Tapi bagi anak muda lain, mungkin akan gengsi banget kalau gak punya rumah sendiri. Belum lagi jika mereka lahir dari keluarga yang punya banyak anak, terus tidak cukup banyak tinggalan rumah, maka mereka jadi harus tinggal di kontrakan dan stress dengan biaya sewa bulanan atau tahunan.
Dan aku kira gak sedikit ya generasi sekarang yang bermasalah tak punya rumah. Bisa dilihat aja, bisnis sewa kost dan kontrakan tiap tahun tak pernah sepi, bahkan meningkat. Desaku aja, sepuluh tahun lalu itu gak kenal tuh namanya kos-kosan. Paling-paling rumah disewakan, itupun biasanya dihuni sanak saudara sendiri. Karena memang kita gak familiar kalau ada orang yang butuh sewa hunian. Kebanyakan warga kita sudah punya huniansendiri.
Tapi sekarang, malah ada orang sengaja jual sawah supaya bisa bangun rumah khusus kos-kosan. Dan yang nyewa bukan cuma orang luar desa, tapi ada juga warga sini sendiri, yang memang mereka tidak punya rumah.
Jadi perbandingannya memang jauh, dan menimbulkan pertanyaan, kenapa ya generasi sekarang kelihatan sulit sekali untuk punya rumah sendiri? Padahal kalau dilihat-lihat, kan tiap generasi ini sama-sama bekerja. Mereka juga punya penghasilan. Bahkan bisa dibilang penghasilannya lebih bisa ditabung ketimbang generasi bapak ibu kita yang kerjanya di sawah.
Nah, kemarin sempat ada lewat di Twitter, ada yang bahas permasalahan ini. Menurut si orang yang nge-twit, penyebab masalahnya adalah banyaknya generasi sebelumnya yang beli rumah bukan untuk dihuni, namun sebagai investasi.
Dampaknya apa? Ketersediaan rumah jadi terbatas, karena orang-orang banyak memborong rumah. Berikutnya terjadilah hukum ekonomi, keterbatasan sumber daya menyebabkan meningkatnya permintaan, sehingga harga pun meningkat.
Bagi orang-orang yang penghasilannya melebihi standar, tentu mudah saja untuk beli rumah, bahkan tak hanya satu, bisa lebih untuk investasi. Tapi bagi anak-anak muda yang penghasilannya standar atau bahkan kurang, tentu akan kesulitan menggapai harga rumah tersebut.
Sedangkan proporsi penduduk kita kan didominasi oleh rumah tangga berpenghasilan standar tersebut. Yang berpenghasilan lebih hanyalah milik sebagian orang saja.
Jadi sepertinya ini semua merupakan kesalahan generasi sebelumnya. Kesalahannya ada pada mindset mereka kalau punya uang lebih, sering terpikirnya untuk diinvestasikan ke tanah dan rumah.
Padahal kalau dipikir-pikir ya, rumah dan bahan pangan itukan sama-sama kebutuhan pokok ya. Namun kenapa yang dilarang cuma menimbun bahan pangan, sedangkan menimbun rumah (investasi) tidak?
Iya nih, harusnya ada regulasi yang kudu dibenahi. Entahlah, mungkin bisa kita terapkan pajak lebih banyak bagi pemilik rumah tidak berpenghuni. Hal ini akan bisa menekan minat orang untuk menimbun rumah.
Regulasi seperti ini juga akan menekan para developer perumahan, agar tidak sembarangan melandas lahan untuk pembangunan kompleks. Hal ini kan juga termasuk masalah, di mana tak sedikit lahan produktif sawah dan kebun, diuruk untuk dibangun perumahan, sedangkan perumahan tersebut tak sedikit yang rumahnya kelihatan kosong, entah tak laku atau memang diborong untuk investasi. Ini kan pemborosan lahan.
Berikutnya yang harus dibenahi adalah mindset kita, yang berpikir rumah dan tanah adalah investasi terbaik. Ini sebenarnya berlaku juga untuk diriku sendiri. Sebelum kepikiran soal ini, aku sendiri juga punya angan-angan kalau ada uang lebih bakal aku investasikan ke tanah dan rumah. Oh tidak, ini adalah mindset yang salah.
Mungkin benar seperti yang dikatakan oleh salah seorang user pada postingan Twitter di atas, bahwa investasi yang lebih tepat adalah beternak dan berkebun. Dan menurutku, tidak hanya ternak dan kebun, bisa juga usaha dagang atau produksi lain. Intinya adalah, investasi pada oriduk yang ada perputaran roda produksi.
Uang yang kita punya tak seharusnya didiamkan saja, seperti pada rumah dan tanah. Tapi putarlah uang tersebut pada kegiatan ekonomi riil. Kalau dalam Alquran kita akan sering mendengar tentang “belanjakanlah hartamu,” dan “janganlah menumpuk harta.”
Komentar
Posting Komentar