Yang aku suka dari film Shin Godzilla ini adalah konsep Godzilla-nya. Pertama, secara visual keren, cukup fresh dibandingkan Godzilla pendahulunya. Doi punya warna ungu. Semburannya juga dibikin bukan seperti nafas api, tapi lebih seperti tembakan laser dari atom yang dipadatkan. Cuma agak aneh aja sama laser yang keluar dari punuk dan buntutnya.
Berikutnya secara konsep bahwasannya Godzilla ini mengalami evolusi yang cepat seiring pertumbuhannya, ini cukup emosional. Karena ada penafsiran kalau Godzilla ini senantiasa berada dalam kesakitan dan kemarahan, karena tubuhnya secara konstan harus berubah menyesuaikan lingkungan. Tapi penafsiran ini aku dapatkan dari review, bukan dalam film itu sendiri sih. Kayaknya filmnya kurang bisa menunjukkan aspek ini.
Yang aku gak suka dari film ini adalah mereka terlalu tendensius ingin menyampaikan pesan tentang kritik pemerintahan Jepang yang terlalu birokratik.
Dengar, aku gak masalah sebuah film atau cerita memiliki pesan moral tertentu. Tapi sebagai media hiburan, harusnya bisa empati sama audiens. Kalau enggak, audiens jadi males nonton, dan akhirnya pesan gak tersampaikan.
Sekarang, siapa audiens film Godzilla? Apa yang mereka harapkan ketika nonton film Godzilla?
Menurutku, audiensnya adalah orang-orang yang pingin melihat kespektakuleran aksi Godzilla. Apa ada yang ingin mendengar kritik pemerintahan? Mungkin ada. Tapi kebanyakan mereka ingin melihat monster, bukan manusia.
Sehingga, harusnya film Godzilla itu menampilkan monsternya, bertarungnya, atau cara mengalahkannya. Masalahnya, film menampilkan sebaliknya. Banyak waktu digunakan untuk menampilkan satu orang bicara dengan orang lain. Mereka mungkin bicara soal strategi mengalahkan Godzilla, tapi itu cuma omong doang, gak ditunjukkan visualisasinya. Jadinya kita bosan.
Scene yang ada Godzilla-nya itu sedikit. Yang aku ingat cuma Godzilla yang muncul dari air ke darat. Terus sama yang final form. Udah, selebihnya tuh dialog doang.
Komentar
Posting Komentar