Langsung ke konten utama

Tercekik di Kandang

Seorang tetangga memelihara kucing “mahal.” Kabarnya sih harganya ratusan ribu. Ya semacam kucing ras tertentu gitulah. Kucing Anggora?! Persia?! Entahlah, aku kurang begitu mengerti ras kucing mahal. Yang kutahu, itu bukan kucing “gratisan” yang berkeliaran di kampung.

Oleh karena mahal, maka kucing itu butuh perawatan ekstra. Tidak seperti warga umumnya yang memelihara kucing kampung, tetangga ini kerap kudapati menjemur kucingnya sehabis dia mandikan.

Biasanya sih, tetangga ini menjemur kucingnya di depan halaman rumahku. Ya, maklum, halaman rumahku memang cukup banyak terkena sinar matahari kalau siang, dan punya ruang cukup luas, tidak dilewati kendaraan.

Siang tadi, ketika sedang kerja, aku dengar kucing itu mengeong-ngeong, yang menurutku merupakan hal yang biasa sih. Kucing ini sering mengeong kalau dijemur. Entahlah, mungkin karena dia kedinginan sehabis mandi, atau dia terlalu anxiety sama lingkungan kampung.

Namun lama-kelamaan, kucing itu mengeong semakin keras,dan berulang-ulang. Kedengarannya seperti kucing yang mengeong ketika hendak berkelahi dengan kucing lain.

Pikirku, aku tidak mau ikut campur. Itu urusan sesama kucing. Lagipula kucing itu juga ada dalam kandang. Jadi aku kira juga bakal aman-aman saja. Dan aku harap pemiliknya sendiri, atau tetangga lain melerai mereka.

Namun semakin lama meongannya semakin keras, dan memilukan. Entahlah, seperti dia sedang meminta tolong. Dan tidak terdengar ada meongan yang berbeda dari kucing lain. Ini meongan yang berasal dari satu kucing. Aneh. Jadi aku putuskan untuk mengeceknya sebentar.

Betapa kagetnya aku melihat kucing itu ternyata dalam kesulitan. Kepalanya seperti tersangkut pada bagian atas kandang.

Aku langsung lari menghampiri. Kandang kucing itu terbuat dari kawat besi. Bagian atas kandang tersebut merupakan pintunya. Nah kepala kucing itu sedang tercekik dan tergantung pada bagian itu, setengah keluar dari kandang. Keempat kakinya sekuat tenaga mencengkram kawat dinding kandang, mungkin berusaha menopang tubuhnya agar tak tercekik.

Sungguh, itu pemandangan mengerikan.

Aku bergerak hendak memanggil pemiliknya. Namun ada keraguan. Rumahnya tidak cukup dekat dengan rumahku, yang berarti aku harus meninggalkan kucing itu. Sementara, mungkin karena kucing tadi mengeong-ngeong terus, jadi ada satu kucing liar datang menghampiri. Kucing liar itu tampaknya marah, hendak menyerang.

Dengan keadaan seperti aku jadi memilih untuk tinggal, untuk memastikan kucing liar itu tidak menyerang. Hmm, enggak juga sih, sebenarnya lebih karena aku terlalu anxiety untuk memanggil tetanggaku. Aku tidak cukup kenal dekat dengan keluarga pemilik kucing tersebut.

Jadi, aku tunggu saja, berharap si pemiliknya mendengar si kucingnya mengeong dan segera datang. Atau paling tidak, ada tetangga lain yang membantu memanggilkan si pemiliknya.

Namun, pemiliknya tak kunjung datang juga. Tetangga pun tidak ada yang keluar. Sementara aku sudah tidak tahan mendengarkan rintihan si kucing. Tidak tahan melihat keadaannya seperti itu. Jadi aku beranikan diri untuk langsung saja menolong kucing itu.

Awalnya aku agak ragu mau melepaskan sendiri si kucing. Karena pertama, aku tidak begitu mengerti sistem pintu kandang itu. Takutnya kalau aku memaksakan diri, bisa-bisa mekanisme kandang tersebut malah semakin menyakiti kucing. Kedua, karena kucing tersebut terlihat belum familiar dengan manusia, aku takut dia ketakutan dan menyerang, yang mana itu bisa semakin menyakiti dirinya sendiri. Keempat kakinya bisa saja dia lepaskan dari dinding, yang itu membuat lehernya tergantung.

Jadi menghindari itu, pertama yang kulakukan, aku elus kepala kucing tersebut perlahan. Aku ingin memastikan dia tidak menyerang, memastikan keempat kakinya masih menopang tubuhnya. Dan benar saja, dia tidak bergerak, meskipun secara respon suaranya sepertinya takut dengan kedatanganku.

Kemudian aku coba gerakkan perlahan pintu kandang yang menjepit kepalanya. Aku coba pahami mekanismenya. Aku dapati ternyata pintunya memiliki sistem pegas. Pintu itu bisa digerakkan ke arah luar, namun pegasnya cukup kuat untuk menjaganya tetap tertutup. Itulah yang membuat si kucing terjepit.

Sepertinya si kucing ini tadi pingin keluar dengan cara memanjat ke atas, dan menyundul pintu tersebut dengan kepalanya. Namun karena tidak cukup kuat atau cepat dibandingkan pegas pintu, akhirnya dia belum sempat mengeluarkan seluruh badannya, dia stuck di leher.

Parahnya lagi, saat aku elus bagian lehernya yang tertutup bulu lebatnya, ternyata yang terjepit itu bukan bagian leher si kucing, namun mulutnya. Jadi aku lihat mulutnya menganga. Itu menjelaskan kenapa meongannya tadi terdengar memilukan.

Melihat keadaanya yang pilu begitu, aku langsung buru-buru buka pintu kandangnya. Ternyata pegasnya cukup kuat. Mungkin memang didesain supaya kucing yang dikandangi tidak bisa mendorongnya keluar. Jadi sampai aku butuh dua tangan jika ingin membukanya cukup lebar.

Namun demikian, saat pintunya terbuka cukup lebar, si kucing tidak menarik tubuhnya mundur atau turun ke kandang, namun merangsak ingin keluar. Sehingga ketika pintunya aku lepaskan, dia jadi terjepit lagi di leher.

Di sini aku sempat bingung. Aku hanya punya dua tangan untuk membuka pintu kandangnya. Kalau aku buka cukup lebar, aku tidak tahu bagaimana caraku mencegah agar ini kucing tidak langsung menyerobot keluar.

Sementara itu si kucing liar yang datang tadi masih tidak mau pergi, dan terus melototi si kucing dalam kandang. Membuatku makin pusing.

Jadi aku ambil keputusan brutal tanpa mikir. Kandang aku tahan dengan kakiku. Satu tangan memegangi kepala si kucing. Sementara satu tangan membuka pintunya.

Cara seperti berakibat prosesku membuka pintu jadi kasar, dan sepertinya terasa menyakitkan bagi si kucing. Karena kepala kucing itu pasti bergesekan dengan kawat besi pintu kandangnya. Ditambah aku memaksa dan mendorong kepalanya masuk meskipun pintunya tidak terbuka cukup lebar. Aku tidak mau memberi celah si kucing merangsak bebas.

Namun demikian, alhamdulillah, berhasil!

Kucing itu kembali masuk ke kandang. Cukup tenang, dia menjilati bagian tubuhnya yang bekas bergesekan dengan pintu kandang. Ya, sudah pasti tadi dia kesakitan, saat tercekik dan saat kudorong paksa masuk.

Sementara itu, anehnya, si kucing liar yang nampaknya mau menyerang tadi, kini dia juga sudah tenang, dan berjalan menjauh. Seperti sudah beres urusannya.

Dari situ aku jadi sadar. Agaknya si kucing liar tadi menghampiri kita bukan karena mau menyerang, tapi pingin menolong, atau setidaknya mau memastikan ada yang menolong.

Meskipun dua kucing ini bukan teman atau semacamnya, tapi sepertinya dia juga kasihan dengan meongan si kucing kandang tadi yang memang terdengar seperti rintihan. Aku tidak yakin pasti apakah kucing punya kosakata “minta tolong”, tapi tampaknya si kucing liar, dan juga aku, bisa memahaminya. Ada bahasa universal.

Namun demikian, aku cukup kecewa dengan manusia sekitar, tetangga. Aku cukup yakin ada tetangga yang mendengar kucing itu mengeong. Siang-siang begitu, biasanya para tetangga baru pulang dari sawah, mereka pasti ada dalam rumah. Namun mereka tidak ada satupun yang keluar untuk mengecek.

Termasuk orang tuaku. Saat aku selesai, dan masuk ke dalam, aku tanya mereka apa mereka juga mendengar kucing tadi. Orang tuaku sedang nonton tivi, dan iya, mereka mendengar suara kucing mengeong-ngeong. Namun apa respon mereka?

Ibuku bilang, “Sudah biarkan saja, Ndi! Jangan keluar, pura-pura saja tidak tahu!”

Iya, itulah respon manusia. Mungkin karena keirian hati. Melihat tetangga mereka punya cukup duit untuk membeli dan merawat kucing mahal, mereka jadi tega. Dalam pikir mereka, biarkan si pemilik sendiri yang bertanggung jawab.

Aku pribadi, sejujurnya, sempat memiliki pikiran seperti itu. Aku sudah terlalu repot dengan kerjaanku sendiri. Lantas kenapa aku harus menolong orang yang nasibnya lebih beruntung dariku?

Tapi entahlah, mungkin aku dibesarkan Tuhan dengan cara yang berbeda. Aku punya ikatan hubungan tersendiri dengan hewan, terutama kucing. Hewan ini pernah menyelamatkan masa kecilku. Aku berhutang budi. Mungkin itu yang mendorongku untuk mengesampingkan perasaan dengki terhadap sesama.

Namun demikian, kalau dipikir-pikir, seharusnya sudah jadi kewajiban kita untuk menolong hewan yang kesulitan, ada atau tidak ikatan perasaan hutang budi itu. Ini adalah salah satu alasan Tuhan menciptakan manusia, untuk memimpin alam, bukan membiarkannya meronta-ronta dalam kesakitan.

Komentar