Aku barusan nonton film dokumenter Netflix, judulnya “Downfall: The Case Against Boeing.” Film ini menceritakan investigasi dua kasus kecelakaan pesawat, yang dua-duanya merupakan pesawat keluaran produksi Boeing.
Yang menarik perhatianku, salah satu kasus kecelakaan tersebut terjadi di Indonesia. Pada tahun 2018, pesawat maskapai penerbangan Lion Air kecelakaan tidak lama setelah lepas landas dan menewaskan seluruh penumpang dan awak kru di dalamnya.
Kalian ingat kejadian itu? Aku pribadi tidak begitu ingat. Yang bisa aku ingat adalah kecelakaan tersebut cukup aneh, karena terjadi saat cuaca cerah, dan tidak lama setelah lepas landas.
Banyak spekulasi beredar. Publik melempar masalahnya penyebabnya pada si pilot, atau juga pihak maskapai, dengan menyebut mereka sebagai maskapai murah, dan semacamnya.
Aku pribadi tidak pernah mendapati berita follow up tentang penyebab asli kecelakaan tersebut. Tidak, sampai aku melihat film dokumenter ini.
Penyebabnya adalah adanya sistem MCAS
Intinya, penyebab utama kecelakaan tersebut adalah adanya sistem MCAS pada pesawat. MCAS adalah kepanjangan dari Maneuvering Characteristics Augmentation System.
Singkatnya MCAS ini berfungsi menstabilkan sudut hidung pesawat, agar tida terlalu menukik dari permukaan. Misal, jika pesawat terlalu mendongak ke atas, ini bisa menyebabkan pesawat kehilangan daya dorong ke atas, yang berakibat jatuh. Untuk mencegah ini, di-install lah sistem MCAS, yang bekerja secara otomatis, menstabilkan sudut hidung pesawat terhadap pesawat.
Namun demikian, pada saat terjadi kecelakaan pada dua kasus di atas, sensor MCAS ini mengalami error. Dia memberikan sinyal palsu ke sistem. Sudut hidung pesawat yang aslinya normal-normal saja, diterjemahkan sebagai tidak normal oleh si sensor. Walhasil, sistem MCAS jadi aktif, dan mendorong hidung pesawat turun ke bawah (menukik).
Merespon hal tersebut, pilot berusaha mengangkat pesawat kembali ke atas. Namun demikian, sistem MCAS masih aktif, sehingga terus mendorong pesawat menukik ke bawah. Oleh karenanya, pada hasil investigasi black box, terlihat grafik pesawat yang ketinggiannya naik turun naik turun sebelum jatuh. Hal ini karena terjadi “pertarungan” antara si pilot dengan sistem otomatis MCAS.
Bayangkan kalian nyetir mobil Tesla, yang ada kemudi otomatisnya. Sensornya rusak. Mobil itu terus melaju lurus dengan kecepatan tinggi, padahal tembok pagar kongkrit. Kalian berusaha ambil alih kemudi, membolakkan mobil. Tapi si kemudi otomatis terus mengarahkan ke tembok tersebut.
Ya, begitulah yang terjadi pada kecelakaan pesawat maskapai Lion Air tahun 2018 itu.
Bukan human error
Beberapa dari kalian bertanya, jika penyebabnya adalah karena kemudi otomatis, kenapa si pilot tidak matikan saja sistem tersebut saat terjadi error?
Well, MCAS adalah sistem atau perangkat baru yang diimplementasikan pada model pesawat Boeing yang terlibat kecelakaan ini. Karena perangkat baru, maka pilot pada kecelakaan pertama (yang di Indonesia) jadi tidak tahu. Ini seperti seorang sopir mengendarai mobil Kijang, tapi tak tahu kalau mobil itu sudah dimodifikasi dengan teknologi Tesla.
Pada kecelakaan yang kedua, pilotnya sudah tahu (tentu saja, karena sistem MCAS itu akhirnya jadi diketahui publik). Namun demikian, si pilot tetap tidak bisa menyelamatkan pesawatnya kendati sudah mematikan sistem tersebut. Karena ketika sistem tersebut dimatikan, itu sudah terlalu telat.
Kesalahan seperti harusnya bisa dihindari, jika si pihak perancang pesawat memberikan wawasan dan pelatihan terlebih dahulu kepada pilot yang hendak menerbangkannya. Namun hal ini tidak dilakukan oleh pihak Boeing. Kenapa?
I hate Capitalism
Alasan kenapa Boeing tidak mau mengadakan pelatihan pilot adalah karena hal itu menghabiskan banyak dana. Lebih banyak daripada pengembangan perangkat pesawat itu sendiri. Sementara perusahaan mereka sedang bersaing dengan perusahan lain, Airbus, yang saat itu tengah mengalahkan mereka pada pasar saham.
Ya, ini semua tentang profit. Mereka menekan pengeluaran, menampikkan aspek safety demi mengejar efisiensi. That’s why I hate capitalism.
Boeing sebenarnya, diceritakan dalam film tersebut, bukanlah tipikal perusahaan kapitalis yang “evil” begitu. Pada awal-awal berdirinya, Boeing adalah perusahaan pesawat yang mengedepankan aspek keamanan dan kekeluargaan. Setiap karyawan dihargai pendapatnya. Jika ada temuan yang berpotensi menyebabkan masalah keamanan, maka akan harus diselesaikan telebih dahulu, bahkan kalau perlu melarang pesawat itu untuk terbang.
Inilah kenapa Boeing menjadi pabrik pesawat yang paling terpercaya. Bahkan sampai ada adagium, If it isn’t Boeing, I ain’t going, “jika bukan Boeing, maka aku tidak akan pergi.”
Namun pada perjalanannya, Boeing melakukan merger dengan suatu perusahaan. Hal itu membuat struktur kepemimpinan berubah. Budayanya juga. Yang dahulunya mengedapankan keamanan dan kekeluargaan, kini berubah jadi efisiensi dan profit.
Apalagi saat Boeing masuk ke pasar saham. Saking mengejarnya profit, sampai-sampai jika ada pekerja yang melaporkan adanya cacar produksi, maka manajernya menyuruhnya untuk tutup mulut. Karena itu dianggap akan memperlambat proses produksi.
Bisa dibilang jatuhnya pesawat Boeing ini bukanlah persoalan teknologi semata. Namun lebih merupakan akibat kesombongan dan keserakahan kapitalism.
Komentar
Posting Komentar