Langsung ke konten utama

Pernikahan Keluarga Matre

Cerita menarik dari orang tua siang ini. Katanya ada tetangga yang anak perempuannya dibatalkan pernikahannya, padahal sudah lamaran. Alasannya karena anak perempuannya tidak jadi mau sama si calon lakinya.

Si calon lelaki ini tidak ada masalah apa-apa. Dia tidak selingkuh, tidak kriminal, atau semacamnya yang bisa dianggap layak untuk batal pernikahan. Yang jadi sebab hanyalah karena si perempuan bertemu dengan laki-laki lain.

Katanya, si perempuan ini pernah terjatuh saat berkendara jalan. Dia ditolong oleh seorang laki-laki. Jatuh hatilah dia padanya. Namun bagaimana bisa hanya karena kejadian itu saja bisa membuat si perempuan sampai berani membatalkan lamaran?

Well, katanya si laki-laki penolong ini bekerja di pabrik Maspion. Untuk kalian yang tidak tahu, di masyarakat sini ada pemahaman bahwa kalau bekerja di pabrik Maspion itu gajinya besar dan hidupnya terjamin.

Entah benar atau tidak asumsi masyarakat itu. Hanya saja, memang jelas gaji lelaki Maspion tersebut lebih tinggi ketimbang si calon laki sebelumnya, yang hanya bekerja di PLN (emang PLN gajinya rendah, ya?!). Jadi, si perempuan nekat membatalkan lamaran karena melihat si lelaki baru ini lebih menjanjikan secara material.

Aku tidak mau menilai pihak mana yang benar dalam kasus tersebut. Karena aku juga tidak tahu persis apa yang terjadi. Apa benar dibatalkan lamaran hanya karena masalah gaji, ataukah memang sejak awal si perempuan dipaksa menikah? Namanya gosip tetangga, kita tidak tahu yang pasti.

Hanya saja yang mau aku soroti adalah tentang pemahaman masyarakat yang menganggap pernikahan sebagai institusi ekonomis. Pemahaman ini benar-benar nyata ada. Bagi mereka, pernikahan haruslah memberikan keuntungan ekonomis bagi keluarga.

Tengok aja konsep tentang seserahan, atau juga mas kawin. Beberapa calon mertua mensyaratkan seserahan dan mas kawin itu dengan nominal tertentu. Ini kan jadi terlihat seperti jual beli, di mana si orang tua perempuan hendak menjual anaknya. Jika tidak memenuhi nominal tersebut, maka barang (si anak perempuan) tidak akan rela untuk diserahkan.

Tidak hanya orang tuanya, si calon mempelainya sendiri juga kadang berpikiran serupa. Bagi si perempuan, dia ingin mencari lelaki bergaji tinggi agar bisa menghidupi dirinya. Karena dia beranggapan, selama ini dia sudah enak dihidupi orang tua, otomatis lelaki yang mengambilnya harus bisa melakukan itu juga. Ini kan motif ekonomis?!

Terus, pihak laki-laki juga kadang mendukung konsep itu. Dalam merebut hati perempuan, mereka lebih giat menampakkan keunggulan material seperti kendaraan, rumah, pekerjaan. Sedangkan aspek substansi lain seperti kesetiaan, kejujuran, dan riwayat perilaku tidak ditampakkan.

Alhasil, ya beginilah budaya masyarakat kita! Semua pihak saling menguatkan pemahaman bahwa pernikahan dianggap sebagai institusi ekonomi. Keluarga, tidak dipahami sebagai institusi pendidikan dan cinta, namun lebih seperti perusahaan yang menghasilkan keuntungan laba.

Mungkin lain kesempatan aku mau menulis tentang masalah ini. Namun hari ini aku ingin cerita fenomena saja.

Dan ngomong-ngomong, aku cukup senang si perempuan pada kasus di atas tidak jadi menikah dengan si lelaki PLN. Karena kelanjutannya ceritanya diketahui, si calon lelaki tersebut meminta seserahan keluarganya dikembalikan dengan uang tunai senilai 25 juta rupiah.

Ya, sesama keluarga matre...

Komentar