Langsung ke konten utama

Haruskah Hidup Selalu Mengejar Tujuan


Apakah kita harus memiliki tujuan besar dalam hidup ini? Apakah setiap detik hidup kita harus diarahkan padanya?

Inilah pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada benakku sehabis menonton film Soul. Dalam film itu ditunjukkan bahwa si tokoh utama berusaha keras untuk mengejar mimpi seumur hidupnya menjadi pianis jazz. Namun setelah mencapai mimpinya itu, kebahagiaannya tidak terasa seberapa. Dia malah menyadari bahwa pengejarannya terhadap mimpinya itu justru mengalihkan dia dari kebahagiaan hidup keseharian di sekitarnya seperti, menikmati langit, mengobrol dengan teman, menjalin hubungan.

Film itu benar-benar membekas dalam benakku. Selain karena kehebatan Disney-Pixar dalam storytelling, juga karena pesan moral dalam film itu benar-benar bersentuhan dengan pengalaman pribadiku. Berikut aku mau ceritakan perenunganku akan hal ini.

Hidup yang Tertarget

Semasa SMA dan kuliah, aku memiliki pemahaman bahwa kita harus punya tujuan yang besar dalam hidup ini. Seluruh hidup kita, harus diarahkan pada pencapaian tujuan tersebut.

Bahkan jika bisa, buatlah semacam jadwal harian secara detail, pada setiap jam dan menitnya harus diisi oleh kegiatan yang ada hubungannya dengan tujuan. Jika ada satu saja kegiatanku yang tidak sesuai jadwal itu, aku akan merasa bersalah dan sia-sia.

Misal, pernah terjadi pada hari Senin pagi secara jadwal aku harus belajar materi kuliah ilmu komunikasi. Namun pada saat itu tiba-tiba kawan lama berkunjung ke rumahku. Otomatis aku terpaksa harus menjamu dia, dan melewatkan jadwal belajar tersebut. Hal itu membuatku merasa kesal, meskipun aku senang bisa bertemu kembali dengan kawan lama.

Sering juga terjadi aku menolak ajakan teman untuk bermain atau nongkrong bareng. Karena aku merasa harus keep on the track sesuai jadwal harianku. Sedangkan, main-main dan nongkrong itu aku anggap tidak ada kontribusinya dengan pencapaian tujuanku.

Jika digambarkan, kira-kira hidupku saat itu sama seperti tokoh utama dalam film Soul itu. Dia begitu fokus ingin menjadi musisi jazz, sehingga lupa untuk berbahagia dalam kesehariannya. Dia tidak menikmati sarapannya, tidak meluangkan mengobrol dengan temannya, dan semacamnya.

Oleh karenanya, film tersebut menyadarkanku bahwa “hidup tertarget” yang selama ini kujalani itu sejatinya tidak sesuai dengan diriku.

Hidup yang Sesuai Dengan Diriku

Kalau mau mengaku secara jujur, hidup seperti di atas itu tidak aku jalani sepenuhnya. Kenyataannya, aku sering kali membelok dari target harianku. Aku selalu tertarik dengan hal-hal yang tidak ada di jadwal.

Misalnya, ketika perjalanan menuju kampus, aku menyengaja untuk berlama-lama di jalan. Bahkan aku lebih memilih menggunakan naik sepeda ontel daripada motor. Jika aku benar-benar berniat untuk mengarahkan setiap waktuku menuju target hidup, harusnya aku menggunakan motor. Itu lebih tepat guna. Sepeda ontel hanya akan buang-buang waktu.

Aku menyadari itu, namun tetap saja sepedaan pulang pergi kampus itu lebih menarik minatku. Ada kenikmatan saat melakukannya. Di jalan Arief Rahman Hakim Surabaya, tepatnya, di jalan belakang kompleks ITS, terdapat jalan yang dinaungi pohon rindang. Bersepeda di bawah pepohonan itu, memandangi cahaya yang meringsak tembus melalui dahannya, menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku.

Gambarannya persis seperti dalam cuplikan film Soul, si tokoh utama, saat usianya masih kecil bersepeda dan memandangi rindang pohon. Ya, seperti itu rasa kebahagiannya!

Setelah menonton film itu, aku baru sadar kalau hal itu juga boleh dianggap sebagai kebahagiaan. Sebelumnya aku, sama seperti di film, merasa hal-hal keseharian seperti itu tidaklah penting, tidak layak untuk dinikmati.

Namun sekarang aku paham, bahwa kebahagiaanku tidak haruslah datang dari apa yang aku targetkan. Aku bisa bahagia dari hal-hal kecil di sekitarku. Melihat rindang pohon, memandangi langit, bahkan mendengar suara-suara samar orang-orang berbincang di taman, merupakan hal-hal yang patut aku nikmati dan syukuri.

Berbeda Tiap Orang

Hasil perenungan dan reaksiku terhadap film Soul ini sempat aku bicarakan dengan beberapa temanku. Aku menemukan sesuatu yang menarik. Ternyata, tidak semua orang sepakat dengan konsep kebahagiaan hidup yang ditampilkan dalam film tersebut.

Mereka tidak mengerti apa bahagianya memandangi langit, menikmati sarapan, mengobrol dengan tukang cukur. Itu menyenangkan, iya, namun bagi mereka itu bukan kebahagiaan yang kita harus memaknainya berlebihan.

Bagi mereka, kebahagiaan ya datang dari apa yang kita targetkan dalam hidup. Kegiatan-kegiatan yang bukan target, bisa jadi menyenangkan, namun tidak seberapa.

Dari sini aku mendapatkan pemahaman baru, bahwa ini semua hanyalah soal cara seseorang hidup. Beberapa orang lebih nyaman jika hidup mereka tertarget dan terkontrol. Namun sebagian lagi lebih  bahagia dengan hidup yang mengalir tanpa terpaku dengan target.

Aku juga jadi sadar bahwa bisa jadi cara hidupku yang tak tepat selama ini itu karena dipengaruhi oleh lingkungan. Aku terlalu menjadikan cara hidup orang lain sebagai cara hidup yang benar, sehingga aku mengabaikan caraku sendiri dalam memaknai kebahagiaan.

Namun demikian, aku tidak perlu menyesal dan marah terhadap lingkungan yang salah itu. Aku bersyukur pernah mengenal cara hidup mereka, sehingga hari ini aku bisa membandingkannya. Aku juga jadi lebih toleran dengan cara hidup orang lain yang berseberangan denganku itu.

Kesimpulan

Memiliki tujuan itu penting. Dan secara alamiah, setiap orang pasti punya tujuan. Namun tak apalah jika setiap hari kau tidak dekat dengan tujuanmu. Karena tiap orang bisa punya cara yang berbeda dalam menjalani hidup ini.

Aku sendiri tipikal orang yang lebih menikmati kebahagiaan dalam keseharian. Di lingkungan sekitar, ada banyak hal sederhana yang bisa membuat bahagia.

Namun demikian, ini adalah soal preferensi cara menjalani hidup. Aku tak menyalahkan mereka yang cara hidupnya berbeda denganku. Pada kenyataannya, sampai sejauh ini aku masih berkawan baik dengan mereka. Namun yang pasti, kini aku menemukan caraku sendiri. Dan aku berjanji, akan hidup lebih sepenuh hati.

Komentar