Kartu Indonesia Sehat |
Saya akui beberapa bulan ini saya agak depresi. Ada gejala seperti gangguan tidur, cemas saat mau ketemu orang, gak produktif, dan sebagainya. Lalu saya pikir mungkin ada baiknya untuk konsultasi ke psikolog.
Tapi saya takut. Pasalnya saya gak pernah tahu gimana cara psikolog. Saya juga gak pernah lihat orang di sekitar saya ke psikolog. Tapi yang lebih membuat saya takut, biaya konsultasinya yang sampai seratus ribuan.
Saya mana ada uang segitu?! Tapi saya punya kartu BPJS. Pikir saya, mungkin BPJS bisa digunakan untuk mendapat pelayanan kesehatan jiwa itu. Mau bagaimanapun, jiwa kan juga butuh “sehat”, iya gak sih?!
Tapi tetep ya, pemahaman umumnya kan BPJS itu digunakan untuk sakit-sakit fisik kayak tipes, paru-paru, dan sebagainya. Emang bisa ya BPJS digunakan untuk pelayanan kesehatan jiwa?
Saya coba searching di google, katanya bisa. Saya juga coba tanya temen-temen, ada yang bilang bisa, ada yang ragu. Tapi ada satu teman saya, dia berbaik hati tanya ke orang dinas sosial yang dia kenal. Nah, katanya BPJS bisa meng-cover biaya konsultasi psikolog.
Baiklah, berarti sudah fix, bahwa BPJS juga bisa digunakan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana prosedurnya? Karena sakit jiwa itu kan aneh ya. Kalau sakit tipus misalkan, kan enak. Misal ditanyai petugas, “Masnya sakit apa?” Terus kita tinggal jawab, “Oh iya, ini saya pusing, diare, dst..” Ini sudah umum terjadi.
Lha kalau depresi, gimana bilangnya coba?! “Iya pak, saya stress, merasa hidup terlalu berat, penuh cobaan,” kok jadinya curhat gitu?! Kan aneh sih?!
Terus, kalau menggunakan BPJS, kan harus ke faskes I (puskesmas) tuh. Nah, di puskesmas kan biasanya gak ada psikolog. Gimana cara dapat pelayanannya?
Nah terus ada nih teman saya yang kerja di rumah sakit. Dia bilang, proses awalnya itu kita datang ke puskesmas. Di sana bilang kalau butuh ke poli jiwa. Nah kalau di puskesmas itu gak ada, maka kita minta surat rujukan ke RS atau faskes lain yang ada.
Oh, segampang itu kah? Entahlah. Tapi saya kira saya harus mencobanya.
Akhirnya pagi tadi saya berangkat. Karena di kartu BPJS saya tertulis faskes-nya Tulangan, maka saya pergi ke puskesmas Tulangan.
Puskesmas Tulangan |
Saya masuk. Ambil nomor antrian pendaftaran. Terus dipanggil. Petugas pendaftaran (resepsionis atau apa ya namanya) tanya, “Iya mas, ada keluhan apa?”
“Saya butuh konsultasi ke psikolog,” jawab saya.
“Psikolah?” tanya petugasnya. Mungkin ini pertama kali ya, si petugas dengar ada pasien butuh ke psikolog.
“Psikolog,” jawab saya menekankan.
“Oh, memang mas nya ada keluhan apa?” tanya petugasnya.
“Saya ada gangguan pola tidur, kecemasan, begitu-begitu..” jawab saya agak malu, karena di samping saya juga ada pasien lain sedang memproses pendaftaran.
“Oh.. iya di sini gak ada layanan itu. Tapi mungkin bisa konsultasi dulu ke pelayanan umum aja ya,” kata petugasnya memberikan solusi.
Selanjutnya saya disuruh ke ruang tunggu. Terus dipanggil petugas (atau dokter) pelayanan umum.
Ruang Tunggu Puskesmas Tulangan |
Pas di dalam, saya disambut sama mbak-mbak perawat (kayaknya sih adik-adik ya, karena sepertinya dia masih magang). Saya disuruh duduk buat diukur tensi darah.
Saya agak ragu, karena saya sakit jiwa tuh, bukan fisik. Terus saya bilang ke mbaknya, “Maaf, ini masalah saya di kejiwaan, butuh psikolog.”
Terus mbaknya bingung, menoleh ke dokter (atau senior) di sebelahnya, dia tanya, “Terus gimana ini?”
“Gapapa tensi aja,” kata dokternya.
Pas diukur, tensi darah saya 130 per 180. Ga tau, ini normal gak ya?! Saya sih merasa gak normal, karena mohon maaf ya, si mbaknya cantik sih. Sehingga pas tangan saya dipegang sama dia, saya jadi deg-degan banget. Kayaknya bakal gak objektif deh hasil tensinya.
Sudah dicatat tensinya. Terus saya dialihkan ke meja sebelah untuk konsultasi ke dokter sebelahnya (yang bagian melayani). Maka dimulailah sesi konsultasi saya.
“Iya, ada keluhan apa?” tanya dokternya.
“Saya ada gangguan tidur, gak teratur. Terus kecemasan...” saya gak bisa meneruskan bicara. Mungkin saya takut, atau malu. Akhirnya saya keluarkan kertas, yang sebelum berangkat tadi sudah saya tulis gejala-gejala psikis saya beberapa bulan ini.
Saya kasihkan tulisan itu ke dokternya. Terus dokternya baca. Sekitar 1 menit (atau 1 abad rasanya), suasana hening. Saya gak berani lihat dokternya. Terus dokternya angkat bicara.
“Oh.. begitu ya. Mm.. masnya sebelumnya pernah mengalami trauma atau apa gitu?” tanya dokternya.
“Oh saya ga pernah trauma. Cuma saya merasa gini sejak Februari,” jawab saya.
“Oh sejak Februari. Itu kenapa?” tanya dokternya lembut.
Lalu saya ceritakan masalah-masalah saya belakangan ini (maaf saya gak bisa cerita, karena privasi). Dokternya mendengarkan dengan ekspresi yang menurut saya lumayan bersimpati.
“Mm.. Masnya pernah mendengar bisikan-bisikan, atau melihat sesuatu gitu, seperti makhluk halus?” tanya dokternya, yang sepertinya dia sedang mengidentifikasi saya ini skizofrenia atau enggak.
“Oh enggak. Eh, tapi kalau bisikan-bisikan.. mungkin ada. Tapi saya rasa itu pikiran saya sendiri,” jawab saya yang mulai takut kalau saya dianggap skizofrenia.
“Oh bisikan kayak gimana?” tanya dokternya.
“Mm.. seperti ga pengen lanjut hidup,” jawab saya.
Suasana jadi hening sejenak, mungkin 1 detik (serasa 1 miliar menit). Terus sebelum dokternya angkat bicara, saya langsung menyela, “Tapi gak sampai action kok, cuma terlintas pikiran aja!”
“Oh iya,” respon dokternya, “Kalau begitu, Mm.. ini kami buatkan surat rujukan aja ya, nanti biar masnya bisa ditangani sama psikolog.”
Terus si dokter sama si mbak perawat yang cantik tadi ke meja komputer. Kayaknya mereka sedang memproses rumah sakit mana yang bisa dijadikan rujukan. Saya mengintip sedikit layar monitornya, di situ mereka sedang mencentang-centang gitu, sepertinya itu diagnosis saya masuk kategori pasien apa.
Tidak lama kemudian, si dokter kembali ke saya dengan membawa selembar kertas, surat rujukan.
“Ini masnya kami rujuk ke RSUD. Tapi pelayanannya tersedia baru tanggal 21, hari Selasa. Masnya bisa?” tanya si dokter.
“Oh iya bisa,” jawab saya.
“Tapi gapapa kan menunggu sampai selasa? Maksudnya, masnya tenang dulu aja. Jangan sampai ada kepikiran bunuh diri gitu. Nanti kalau sudah ketemu sama psikolog, pasti bisa tertangani kok,” kata dokternya yang sepertinya khawatir banget.
“Oh iya, insya Allah..” jawab saya.
Lalu saya dipersilahkan untuk meninggalkan ruangan.
Begitulah. Jadi saya sudah mendapatkan surat rujukan ke poli jiwa RSUD Sidoarjo, namun harus menunggu sampai hari Selasa.
Tapi setidaknya saya sudah dijamin mendapatkan pelayanannya. Sehingga bisa saya simpulkan kalau BPJS juga bisa digunakan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan kejiwaan.
Prosesnya, pertama kita harus mendatangi faskes yang tertera di kartu BPJS kita. Berikutnya di faskes itu akan dilayani. Jika tidak terdapat dokter khusus bagian kejiwaan, maka akan dilayani oleh dokter umum. Nah dokter umum itulah yang akan melakukan diagnosis awal, kemudian memberikan surat rujukan ke faskes lain yang bisa memberikan pelayanan kesehatan jiwa.
Sampai di sini dulu ceritanya. Berikutnya saya akan ceritakan bagaimana proses ke psikolog hari Selasa besok itu. So, please stay with me..
Komentar
Posting Komentar