Langsung ke konten utama

Yang Aku Rindukan dari Perayaan Maulid Nabi

Perayaan maulid di dusunku tidaklah bisa disebut cukup meriah. Tidak seperti daerah lain yang sampai ada festival, arak-arakan massal, atau apa itu disebutnya?! Grebeg Maulid ya, kalau gak salah.

Maulid di dusun sini dirayakan sederhana. Tiap rumah menyediakan sebakul buah dan atau nasi. Lalu mereka semua berkumpul di masjid sehabis maghrib. Setelah serangkaian acara pembacaan diba' dan doa bersama, kemudian semua orang berebut makanan dan buah yang disediakan oleh masing-masing orang. Tentu saja tiap orang tidak akan menyantap asahan (sebutan untuk sebakul buah atau makanan yang dibawa) mereka sendiri.

Namun sebagaimanapun sederhananya, momen-momen itu selalu membuatku terlarut dalam haru nostalgia setiap kali aku merayakannya di dusun ini. Apalagi dengan kondisi sekarang yang hampir semua demografi dan kultur masyarakan dusun ini sudah berubah. Rasanya ingin sekali kembali ke masa lalu yang sederahana itu.

Berikut ini adalah hal-hal yang aku rindukan dari perayaan Maulid Nabi pada masa kecilku dulu.

Rebutan buah

Aku pikir ini adalah karakteristik umum dari perayaan maulid oleh banyak daerah di Indonesia. Kalau ditanya bagaimana gambaran perayaan maulid, yang terlintas di pikiran pasti tentang buah dan rame-reme rebutan.

Tak terkecuali dusunku, perayaan maulid juga identik dengan rebutan buah di benak warganya. Makanya tak heran beberapa orang sengaja membawa kresek (tas plastik) dari rumah sebelum berangkat ke masjid. Antisipasi nanti bakal dapat buah yang banyak sampai tidak bisa membawanya dengan tangan.

Baik tua maupun muda, yang berumur sekalipun, tidak ketinggalan ikutan rebutan. Kita tahu memang terlihat kekanak-kanakan melihat orang dewasa tidak mau kalah sama anak-anak. Tapi justru di situlah letak keseruannya. Kita tinggalkan kedewasaan kita, sejenak menjadi bebas dan bahagia pada momen perayaan ini.

Dulu aku sebagai anak-anak juga tidak protes atau ngambek dengan orang dewasa yang rebutan denganku. Justru itu pemandangan yang lucu dan konyol, melihat mereka yang biasanya berwatak alim, pendiam, dan tenang, tapi sekarang menyatu dalam keriangan kita bersama.

Dan percayalah, meskipun dalam benak kita sudah siap untuk saling berebut, namun tidak ada satupun dari kita yang mau bertindak curang. Dalam artian, tidak ada satupun warga yang mengambil buah sebelum rangkaian doa benar-benar selesai. Jadi setelah pemimpin doa menutup dengan walhamdulillahi rabbil 'alamin, barulah kita rebutan. Sebelum itu, tak boleh ada yang menyentuh bahakan tutup asahannnya. Entahlah, ini seperti aturan tak tertulis.

Aturan tak terulis lainnya ialah, tak ada satu orang pun yang serakah memborong satu asahan. Secara teknis, sebenarnya bisa saja seseorang langsung memborong buah beserta bakul/wadahnya, tak menyisakan untuk orang lain. Namun demikian, tak ada yang pernah melakukan ini. Seakan setiap orang memahami, bahwa tujuan dari rebutan buah ini bukanlah untuk memenangkan sebanyak-banyaknya buah, namun berbagi keseruan dengan orang lain dengan saling berebut. Entah bakal dapat banyak maupun sedikit, itu tidak jadi persoalan.

Sayangnya, keseruan maulid yang seperti ini, kini mulai memudar. Para warga tidak lagi memandang rebutan buah sebagai seru-seruan belaka, namun mereka semua sudah ada niat untuk mendapatkan makanan sebanyak-banyaknya. Oleh karenanya, tidak sedikit dari mereka yang mengambili buah dan makanan sebelum rangkaian doa benar-benar selesai. Bahkan sang pemimpin doa pernah suatu ketika sampai membentak mereka yang sudah ramai sendiri rebutan saat doa masih dibacakan.

Selain itu, ada pula beberapa tokoh masyarakat yang mengadaka perayaan maulid di lingkungan RT-nya sendiri, tidak lagi berkumpul di masjid. Konsep mereka tetap ada makanan dan buah, namun tidak lagi diperebutkan. Makanan dan buah itu dikumpulkan jadi satu, lalu dibagi dan diwadahi sesuai jumlah peserta. Jadi setiap orang mendapatkan jatah buah dan makanan yang sama.

Secara keadilan, memang itu bagus, tidak menyebabkan keirian antar orang atas jumlah yang didapatkan. Namun, di mana letak keseruannya?! Hal ini tidak ada bedanya dengan acara kenduren biasa. Dan masalahnya, ini juga menarik minat orang lain di luar RT itu, yang menyebabkan jumlah orang yang merayakan di masjid terpusat jadi berkurang.

Terbangan dan shalawatan

Mungkin aku perlu menjelaskan terlebih dahulu apa itu terbangan. Well, ini bukan bermakna terbang melayang. Terbangan adalah sebutan untuk satu kesenian tradisional, di mana beberapa orang bernyanyi, atau lebih tepatnya bershalawat (mengagungkan pujian ke Nabi dengan lantunan lagu), sambil memainkan alat musik pukul yang disebut dengan terbang.

Emm, mungkin kalian atau daerah lain lebih familiar dengan kesenian hadrah. Ya, sangat mirip dengan itu. Namun aku pernah tanya ke temanku yang juga pelaku kesenian itu, katanya hadrah dan terbangan itu berbeda. Meskipun aku sendiri masih belum ngeh apa perbedaannya. Buatku mereka terlihat sama. Tapi ya sudahlah, intinya kesenian ini tuh seperti itu.

Terbangan ini selalu ditampilkan setelah acara pembukaan dan sambutan, dan sebelum doa bersama. Ya bisa dibilang ini adalah acara utama perayaan maulid di Masjid. Namanya maulid Nabi itu kan intinya shalawat ke Nabi, dan terbangan, ya emang begitu kan.

Aku pribadi selalu antusias tiap kali mulai terbangan. Soalnya pada acara ini semua hadirin diajak untuk berdiri dan ber-shalawat (bernyanyi) bersama. Sedangkan aku, yang notabene anak yang pemalu, jarang teriak-teriak, pada acara ini punya kesempatan untuk bersuara keras-keras.

Sebenarnya sih aku juga gak hafal seluruh lirik shalawat-nya. Misal, pas sampai lirik:

Asyraqal badru 'alaina
Khattu ya bla bla bla ... wkwk

Udah deh, sampe situ aku gak bersuara.

Tapi setelah part itu, pas udah masuk ALLAH YA NABI, SALAM... Wah, udah deh, teriak sekenceng-kencengnya. Dan yang begini ini tidak hanya aku, atau anak-anak kecil lainnya. Orang dewasa juga. Yang biasanya mereka perawakannya kalem, ikutan teriak. Yang perawakannya serem, juga ikutan shalawat. Suasananya bener-bener rame deh, sumpah.

Nggak tahu ya kenapa koq bisa rame begitu. Apa karena musiknya yang memang mengandalkan alat musik pukul? Atau karena pengaruh lingkungan rame, sehingga individu-individunya juga terjangkit virus rame?

Namun sayangnya, acara maulid masa sekarang kurang terasa ramenya. Faktor utamanya karena shalawatan-nya sudah nggak pake terbang lagi. Perkumpulannya sudah tidak seaktif dulu, dan sudah pada tua, sehingga sulit mengumpulkan mereka lagi untuk tampil di acara tertentu.

Faktor lainnya, orang-orang sudah gak serame dulu. Gak tahu ya, apa karena orag-orang yang rame dulu sudah nggak ada lagi, atau psikis masyarakat sudah mulai jaim. Teriak kegirangan, dipikirnya itu tindakan yang nggak "cool."

Teman lama

Dahulu aku selalu merayakan maulid bersama teman sebaya. Gak hanya maulid sih, tapi juga perayaan lain seperti idul adha, idul fitri... Oh, sungguh ramai masa-masa itu.

Sekarang, yah, teman-teman itu hilang. Well, beberapa teman itu masih tinggal di lingkungan masjid sini, dan hadir di perayaan maulid. Tapi ya, perbedaan pengalaman dan pendidikan, juga interaksi yang gak intens lagi, membuat yang dahulunya teman dekat, kini jadi hanya say hello saja.

Komentar