Langsung ke konten utama

Tulangan, Pramoedya, dan Pendidikan Sejarah

 "Pabrik itu kini tak beroperasi. Memang tidaklah sepi. Namun sudah tak kita lihat lagi lori-lori. Dahulu suara sulingnya selalu terdengar di pagi hari. Pertanda bagi para buruhnya untuk berangkat kerja, dan anak-anaknya bersekolah. Sekarang bangunan itu hanya bisa bersaksi buta, pernah ada kehidupan di sana."

Pabrik Gula Tulangan yang sudah tidak beroperasi.

Akhir-akhir ini saya keranjingan membaca novel tetraloginya Pramoedya Ananta Toer. Belum khatam memang, masih baru baca bagian pertama yang judulnya "Bumi Manusia" dan sebagian dari novel kedua "Anak Semua Bangsa."

Kalau ditanya apa menariknya, tentu saja banyak kemenarikan dari novel ini. Mulai dari penceritaan setting yang jelas menggambarkan situasi masyarakat era kolonial, sampai kesinambungan antar alurnya yang canggih.

Graha Tulangan dibangun tepat di depan seberang jalan bangunan pabrik. Seingat saya, dahulu ini adalah rumah tua kompleks perumahan pabrik gula.

Namun bagi saya pribadi, yang paling menarik adalah disebutkannya daerah Tulangan Sidoarjo sebagai salah satu setting tempat sentral dalam novel. Sebagai putra asli Tulangan, saya sangat terkesan dengannya.

Sebelumnya saya sudah tahu bahwa daerah kelahiran saya ini pernah disebut dalam novel fenomenal. Dan itu juga yang menjadi alasan mulai membaca novel ini.

Awalnya saya kira penyebutan daerah Tulangan ini hanya sekedar cameo, atau selingan saja. Biasalah suatu nama tempat disebutkan begitu saja tanpa ada signifikansinya. Entahlah, mungkin si tokoh utama pernah melintasi daerah Tulangan atau semacamnya.

Namun siapa sangka Tulangan ini menjadi salah satu setting sentral dalam dua serial pertama novel ini. Pramoedya menceritakan cukup detail kehidupan masyarakat daerah ini pada saat 100 tahun lalu. Digambarkannya daerah Sidoarjo yang masih dipenuhi hutan. Disebutkan mengenai mata pencaharian penduduknya yang menjadi petani dan buruh pabrik gula. Disebutkan pula tingkat kemiskinannya, yang pakaian saja mereka masih telanjang dada.

Sepanjang jalan ini berjajar rumah-rumah lawas. Kemungkinan rumah-rumah inilah yang disebut Pramoedya sebagai kompleks perumahan pejabat atau pegawai Pabrik Gula Tulangan masa itu.

Sangat disayangkan memang, saya tidak pernah mengetahui sejarah kehidupan tempat kelahiran saya sendiri. Diri saya lahir, tumbuh, dan sekolah di lingkungan Sidoarjo, namun pada usia 20-an, baru tau ada karya fenomenal yang berbicara tentang peri kehidupan kakek buyutnya sendiri.

Saya kira ini problem sistem pendidikan kita. Mata pelajaran sejarah melulu mengajarkan tanggal dan peristiwa. Namun kurang membangun semangat pada para pemuda untuk merenungi kehidupan para pendahulunya.

Guru-guru sejarah dan bahasa seharusnya menyarankan putra didiknya untuk membaca karya-karya seperti novel sejarah begini. Kemarin-kemarin saya juga sempat googling dengan kata kunci "sastra Indonesia." Mengejutkan, di situs wikipedia saya dapati bahwa ada begitu banyak karya sastra dari pujangga-pujangga negeri ini. Selain penuh makna, novel-novel itu juga memuat penggambaran sejarah kehidupan masyarakat pada jamannya. Kenapa saya tidak pernah mendengar ada karya-karya seperti ini?

Saya kira ada baiknya kurikulum pendidikan kita menganjurkan siswa didiknya membaca karya pujangga-pujangga ini. Selain untuk meningkatkan minat literasi, juga membantu mengenalkan sejarah dengan lebih menyenangkan. Akui saja, lebih enak mana membaca buku sejarah penuh tanggal dan nama, dibanding novel yang diwarnai drama dan cinta?

Mungkin peristiwa yang diceritakan novel bersifat fiksi belaka, atau mungkin juga fakta, siapa tahu. Tapi setidaknya dari pujangga itu tampak gambaran pengalaman dan dinamika rasa kehidupan masyarakat pada masa mereka. Ini akan memicu diri kita untuk merenunginya.

Sehabis membaca bagian novel yang mengkisahkan tentang Pabrik Gula Tulangan itu, saya terdorong untuk bersepeda mengunjungi tempat itu. Betapa tertegun saya berada di sana. Membayangkan bahwa dahulu tempat ini pernah dihuni oleh anak manusia. Membayangkan bagaimana mereka hidup, saling bekerja sama, atau berkonflik berebut sumber daya.

Tanpa membaca novel ini, mungkin saya tidak akan pernah merasakan ketakjuban tiap kali melintasi bangunan tua ini. Dia selamanya hanya akan menjadi seonggok tumpukan batuan. Rentah, hanya jadi tempat parkir dan pasar malam semata.

Cerobong asap pabrik, tampak dari samping belakang. Sewaktu kecil, saya selalu mengira bahwa cerobong inilah yang mengeluarkan suara suling setiap pagi (tanda jam masuk kerja bagi pekerja pabrik), Iya, rumah saya berjarak 3 km dari sini, namun dahulu masih terdengar.

Sebagai putra asli Tulangan, yang bapak ibu juga asli dari sana, saya jadi berpikir. Mungkin diri ini adalah juga warisan dari orang-orang yang disebutkan dalam novel itu. Tak hanya secara genetik, warna kulit, atau bentuk wajah. Namun juga sikap, dan kepribadian. Diturunkan melalui sistem sosial yang dibuat mereka. Menjadi apa diri kita sekarang, apakah pemimpin yang berani, saudagar yang berharta, ataukah buruh yang tanpa daya, bisa jadi merupakan watak yang digariskan oleh para pendahulu kita.

Dan bagaimana kita bisa mengenali para pendahulu kita kalau tidak dari membaca. Saya berharap karya-karya bersejarah seperti Pramoedya A. Toer ini masih terjaga. Ingin hati ini membaca lebih banyak lagi tentang sejarah bangsa ini.

Sudah terlalu banyak milik negara ini direnggut. Jangan sampai watak dan kebudayaan kita juga lepas dari genggaman kita. Justru itulah sumber daya terkuat bangsa, yang dahulu menjadikan kita satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa.

Komentar