Langsung ke konten utama

Ayunan Senja


Senja itu, dia duduk bergeming di ayunannya, membuat sukmanya berayun ke masa silam.


Dua tahun sudah pemuda itu berpura-pura untuk bahagia. Berayunan, seakan seseorang masih memeganginya. Yang tak lain hanya kakinya sendiri yang jadi penopang segalanya.


Namun seberapa kerasnya berayun, pada akhirnya kau akan berhenti juga. Terdiam. Menyadari bahwa kau sendirian. Dan saat menjelang malam, ketakutan.


Pemuda itu tak takut dengan gelapnya atau apapun yg disembunyikan malam. Tidak. Bukankah tengah malam menjadi saat bagi semua orang berjaya dan meniup terompet perayaan?!


Dia hanya takut dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Karena malam adalah penanda bahwa besok akan datang. Dan pikirannya berderit tiap kali mengingat itu.


"Esok akan sama seperti ini," pikirnya sambil memandangi tali gantungan.


Ada sebuah keyakinan, bahwa titik balik matahari adalah saat-saat terdekat antara diri dan kekasih yang telah pergi.


Iya, mungkin itu benar. Karena senja kini pemuda itu mendapati seseorang tiba-tiba berdiri tersenyum dibalik pundaknya.


Entah apa yang harus ia rasakan. Damai, atau terancam. Karena senyum itu sangat dikenalinya, manis, namun hitam.


Namun kata mereka, Izrail bisa menemuimu dengan wujud siapapun. Terutama jika kau berniat mengikatkan lehermu dengan tali ayunan.


"Apa yang kau bawa untukku," tanya pemuda itu getir. "Kehidupan, atau kebinasaan?"


"Aku tidak melihat perbedaan di antara keduanya," jawab sosok itu tersenyum.


Oh bodohnya dia menanyakan itu. Tentu saja. Itu pesan yang ditinggalkan kawannya dua tahun lalu. Dan Sang Hyang telah menyematkan ajaran itu pada semua makhluk, bahkan iblis sekalipun.


Bahwasannya semua adalah satu. Tiada beda antara yang dua. Kenikmatan, kepedihan. Keberhasilan, kegagalan. Pertemuan, perpisahan.


Seorang anak manusia tidak perlu takut dengan apa yang akan menimpanya. Karena pada akhirnya, segala hal telah ditulis oleh Tangan Yang Sama. Maktub.


Demikianlah, kini penuh keikhlasan pemuda itu membenamkan matanya. "Aku siap menjemputmu, apapun itu."


"Maka istirahatlah. Ada hari esok untuk kau jalani," ujar suara lirih.


Lalu sosok itu kembali membuka lembar catatan bahu kanan si pemuda, 365 halaman baru.

Komentar