Langsung ke konten utama

Burung Gelatik dan Patung Emas

burung gelatik terbang melintasi patung emas pencil drawing
Burung Gelatik dan Patung Emas
Suatu hari hiduplah seekor Burung Gelatik. Dia terbang melintasi kota menuju persawahan, tempat sumber makanan.

Dia sendirian, mungkin ditinggal kawanan. Dia kecapekan. Terbang sendirian memanglah melelahkan, baik secara badan maupun kejiwaan. Maka rehatlah dia di alun-alun kota, tepat di bawah bayang Patung yang dilapisi emas.

Tak lama merentangkan sayap, Si Gelatik menyadari Si Patung Emas ternyata sedang menangis. Ditanyakanlah kenapa.

Si Patung berkata kalau dari tempatnya berdiri dia bisa melihat sudut kota yang dipenuhi orang baik namun menderita. Dia sedih karena dia memiliki kulit emas, tapi tak bisa memberikannya kepada mereka. Sebagai patung, dia tak bisa menggerakkan tubuhnya. Maka si Patung meminta Si Gelatik untuk membantunya.

Tentu saja Si Gelatik berat hati. Pikirnya siapalah orang-orang kota itu, dia bahkan tidak mengenalnya. Buat apa buang-buang tenaga untuk membantu mereka.

Si Patung hanya tersenyum. Katanya kelelahan yang disebabkan niat baik akan terbayar kembali nantinya. Melihat keramahan dan niat baik si Patung itu, maka Si Gelatik berkenan membantunya, hanya karena terpaksa tak tega saja.

Siang dan malam Si Gelatik menguliti Si Patung, terbang bolak balik ke sudut kota, membagikan sobekan emas yang tak lagi terhitung jumlahnya. Karena sudah terbiasa, lama kelamaan Si Gelatik menyadari, bahwa sebenarnya dia ikhlas membantu si Patung Emas itu.

Akhirnya kulit terakhir Si Patung terkelupas, Si Gelatik hinggap di pundaknya. Belum pernah dia merasakan kelelahan sehebat ini, namun di saat bersamaan juga merasa puas tak terkira. Merasa tugasnya sudah selesai, Si Gelatik mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan kepada Si Patung Emas.

Namun Si Patung tidak bisa mendengarnya, atapun melihatnya. Lapisan kulit mata dan telinganya sudah tiada. Tapi Si Patung masih bisa merasakan Si Gelatik yang tadinya bertengger, kini sudah tak lagi di pundaknya. Mungkin Si Burung harus melanjutkan perjalanannya, pikirnya. Maka Si Patung ucapkan terima kasih dan doa, semoga Si Gelatik berhasil sampai ke sawah dan bertemu kawan-kawan idamannya. Dia tahu, pasti Tuhan akan membalas kebaikan burung baik hati itu.

Namun yang Si Patung tak tahu adalah, bahwasannya Si Gelatik yang kini tak lagi di pundaknya itu bukanlah terbang jauh, melainkan terjatuh. Kelelahan yang luar biasa membuat burung itu tak sanggup terbang lagi, tak sanggup berdiri. Terjatuh, jasad burung malang itu terbaring tepat di samping Patung berdiri.

Demikianlah cerita Burung Gelatik dan Patung Emas. Cerita di atas merupakan adaptasi dari cerpen karya alm. Daoed Joesoef, yang judul aslinya "Patung Guru". Iya, tokoh utama aslinya adalah si Patung Emas. Burung Gelatik hanyalah tokoh sampingan dalam kisah tersebut.

Namun bukankah kita semua juga seperti itu?! Kebanyakan kita bukanlah tokoh utama. Kita lebih sering dianggap sampingan bagi orang lain. Seperti Si Gelatik, kita hanyalah seorang biasa yang memiliki impian sederhana: hidup nyaman, mapan, sama teman-teman. Kita hanya orang biasa yang berjibaku mencapainya: kelelahan, sendirian, ditinggalkan.

Namun siapa sangka bahwa tokoh biasa nyatanya bisa memiliki kisah yang mengharu mata. Yang kita butuhkan hanyalah kesempatan untuk berkarya, sebagaimana Si Gelatik yang bertemu dengan Patung Emas untuk berbuat kebaikan pada orang kota. Apalah arti kenikmatan dunia. Tiada kepuasan yang lebih besar ketimbang kebermaknaan bisa berkorban demi kebaikan semua.


Secara pribadi, saya ingin sekali seperti Si Gelatik, yang pada akhir kisahnya para malaikat melapor pada Tuhannya, "Kita kedatangan seekor burung gelatik." Lalu Allah menjawab, "Sambutlah, karena Aku yang memanggilnya. Aku tidak mau dia kelelahan lagi di dunia."
"Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya." –Qs. al-Baqarah [2]: 25

Komentar