Langsung ke konten utama

Pengalaman Menghadapi Modus Penipuan Minta Pulsa

Tau nggak penipuan minta pulsa? Itu lho, yang kita dihubungi sama orang yang gak kita kenal, ujung-ujungnya dia minta dikirimin pulsa. Yang paling terkenal mungkin modus Mama ganti nomer dan minta dikirimin pulsa. Biasanya diiringi sama hal-hal mendesak seperti lagi di kantor polisi, ruang UDG rumah sakit, dan lain-lain.

Nah, tadi pagi saya dapet nih praktek penipuan ini, modusnya: kakak telpon nemu dompet. Nah, ini saya mau share ke kalian, karena cukup kocak. Mungkin bisa jadi bahan pelajaran, atau sekedar lucu-lucuan aja. Hehe..

Ceritanya ini terjadi pagi hari jam 6, pas saya masih gak mau bangun tidur. Nah tiba-tiba ada panggilan masuk. Saya lihat nomernya, ini gak pernah saya save di phonebook. Juga bukan termasuk nomer penting untuk saya ingat (nomer kakak, nomer gebetan, wkwk). Dari sini sudah saya asumsikan, ini nomer orang yang belum saya kenal.

Tapi gak langsung saya tutup tuh telepon, karena kan bisa jadi itu nomer perusahaan mau panggil interview, atau bisa juga nomer teman yang baru dapet atau ganti nomer. Hanya saja kalau nomer teman, ini kemungkinannya kecil. Karena teman-teman saya hampir tidak pernah menghubungi lewat telepon, seringnya lewat WA (karena kuota lebih murah ketimbang tarif pulsa).

Kemungkinan ketiga, ini nomer orang asing yang nyasar. Kebetulan seminggu kemarin ada. Nah andaikan memang orang asing, saya tetep angkat tuh telepon. Karena bisa saja itu kondisinya kasihan, dan butuh pertolongan. Kan lumayan tuh saya bisa jadi hero, kayak di film cellular.
Oke, saya angkat teleponnya.

"Halo?!"

"Halo, halo! Sedang apa nih?" dia jawab dengan nada riang.

"Baru bangun tidur. Eh, ini siapa ya?" tanya saya. Jelaslah, orang saya belum tahu.

"Masa' ga tahu ini siapa. Hayo, coba diingat-ingat ini suaranya siapa?" dia tanya seakan lagi main tebak suara. Dengan kondisi setengah sadar, saya coba-coba ingat, siapa ya yang punya suara kayak gini.

"Maaf ga ingat," jawab saya setelah diam sekitar 10 detik. Ya mau bagaimanapun diingat, dengan kondisi sudah sadar penuh, tetep ga bisa ingat.

"Bentar-bentar, ini aku ngomong dengan siapa sih?" dia balik nanya.

"Andi," jawab saya.

"Ndik, ayolah, masa' ga ingat?! Coba bangun dulu, baru bangun tidur kan. Diingat lagi," katanya, seakan dia mau bilang kalau orang yang baru bangun nyawanya belum lengkap. Oke sekarang saya jadi agak kesal.

"Hmm.." respon saya. Setelah beberapa lama bermain-main tebak suara, akhirnya dia menyerah dan memberikan nama.

"Ini kakak, Rudi," katanya.

"Yudi?!" tanya saya. Ya maklum aja lah ya, baru bangun tidur. Kekuatan indra pendengaran belum sepenuhnya pulih.

"Ru-Rudi! Ingat?!" kata dia.

"Cacak (baca: panggilan saya untuk kakak kandung), cak Rudi?!" tanya saya agak ragu.

"Iya. Oke, sudah tau ya.." respon dia.

Sampe sini, sebagian diri saya merasa lega karena lepas dari kuis tebak suara, dan akhirnya tahu kalau yang nelpon ini kakak saya, bukan orang nyasar. Tapi sebagian diri saya yang lain masih agak heran, koq kakak saya begini ya?!

Sedikit cerita mengenai kakak saya. Pertama, suara kakak agak ngebass, sedangkan yang ini agak treble. Kedua, dia gak begitu akrab sama saya. Aneh rasanya di awal nelpon dia pake bahasa akrab dan main kuis begitu. Dia juga orang yang to the point, sehingga ga mungkin berbelit-belit begini. Apalagi via telepon, dia pasti ga berlama-lama (sayang sama pulsa). Dia pasti lebih milih menghubungi lewat WA. Sehingga saya agak curiga di sini, jangan-jangan bukan kakak saya. Tapi gak langsung saya potong pembicaraan, karena saya juga masih proses mikir, apa jangan-jangan ada "Rudi" lain di hidup saya, selain kakak.

"Ndik, gak kerja?" tanya dia. Ini pertanyaan yang membuat saya, antara penuh harap dan kesal. Penuh harap karena bisa jadi kakak membawa kabar baik nawari lowongan kerja. Kesal, ya kesal tiap kali ditanyai perihal kerja.

"Enggak, lagi nyari," jawab saya.

"Oh lagi nyari," dia bilang, "mau rejeki nggak?!"

Sekarang saya sudah yakin ini bukan kakak saya, dan bukan orang yang saya kenal. Karena selama hidup saya, tidak pernah saya kenal seseorang yang telepon terus dia tanya apa saya mau dikasih rejeki. Kalau mau ngasih rejeki, tentu saja langsung aja kasih, ngapain pake nanya, Tapi saya jawa untuk formalitas, "Iya mau."

"Oke Ndik. Sekarang kamu siapin bulpen. Catet ini! Catet aja dulu. Jangan tutup telponnya. Nanti aku jelaskan," dia ngasih instruksi. Di pikiran saya: wait, wait, what is this?! Bulpen, catet, untuk apa?! Ini saya mulai bertambah curiga. Sebenarnya saya pingin ga nuruti perintahnya. Tapi karena saya penasaran, pingin tahu ini dia mau apa, jadi saya turuti aja.

"Tulis: dompet hitam, merk Levis, duit 6 juta 800, kalung emas putih 20 gr lengkap dengan suratnya, pas foto 3x4 2 lembar hitam putih," suruh dia. Selanjutnya dia juga memastikan kalau saya nyatet, "Sudah?! Coba kamu baca lagi!"

Terus saya bacakan catatan saya. Dia terdengar puas, lalu menjelaskan, "Jadi gini Ndik. Tadi kakak di pom bensin, di toilet nemu dompet, isinya itu-itu tadi. Gak ada KTP atau tanda pengenalnya, otomatis gak bisa aku kasihkan ke siapa. Nah, kalo kayak gitu, ini kan rejeki kita ya?!"

"Iya...?!" jawab saya agak ragu. Dalam benak saya, mau bagaimanapun namanya barang temuan itu bukan hak kita. Kalau pun gak ada tanda pengenalnya, menurut saya ya kasihkan aja ke pihak berwenang seperti manajer pom bensin setempat, atau kantor polisi gitu. Apalagi itu kan ada fotonya. Cari aja di google image, kali aja dia orang yang cukup dikenal google.

"Tapi pas aku ambil itu, ketahuan satpam," lanjut dia. Tuh, kasihkan aja ke dia, pikir saya.

"Dia tanya itu dompet siapa. Aku jawab itu dompet saya pak. Dia minta bukti KTP, kan ga ada ya, cuma foto. Terus aku jawab itu foto saudara. Satpamnya minta bukti, dia suruh aku telpon. Makanya ini aku telpon kamu. Ini satpamnya mau ngomong sama kamu. Pokoknya nanti kalo kamu ditanya, jawab aja itu dompet kamu. Kalo dicek isi dompetnya apa aja, nah sampaikan yang kamu catet itu tadi. Kalau kamu disuruh datang kesini, bilang aja kamu masih di luar kota, gak bisa datang."

Oh gitu rupanya. Jadi ceritanya ini saya disuruh bohong. Otomatis dalam benak saya pingin nolak. Pikir saya, ya mending jujur aja lah, kasihkan ke satpamnya. Kasihan yang kehilangan dompet, itu duit 6 juta lho. Terus kalung emasnya, ga tau ya, mungkin itu kalung keluarga atau gimana.

"Mmm.." respon saya. Tapi sebelum saya melanjutkan ngomong, mau nyuruh dia kasihkan itu dompet. Dia langsung menyela, "Kamu mau rejeki nggak?!"

"Iya sih, tapi.." jawab saya. Tapi dia juga langsung melanjutkan, "Udah. Ini satpamnya mau ngomong sama kamu."

Dalam proses dia ngasih ke satpam, saya berpikir. Hmm, iya ini jelas bukan kakak saya. Karena kakak saya ga mungkin bertingkah kayak begini. Yang saya tahu, memang kakak kalau nemu uang di jalan, ya dia ambil. Tapi kalau proses ribet sampai diklarifikasi satpam begini, kakak ga mau ribet. Pasti akan dikasihkan aja ke satpam itu. Dan kalau sama saya, biasanya dia lebih suka minta pendapat saya, bukannya langsung memberi instruksi tanpa dengar pendapat.

Dengan demikian, saya jadi berpikir jangan-jangan ini modus penipuan. Kalau iya, lantas penipu ini mau apa? Apakah dia mau saya mentransfer uang? Atau mereka mau mengerjai saya, mau mengkriminalisasi saya, bahwasannya kalau saya ikut bohong mengakui dompet tersebut, saya bakal kena pasal penipuan juga?

Ini membuat saya deg-degan, apa yang harus saya lakukan. Tapi selanjutnya saya pikir perlu untuk sedikit lebih jauh lagi mengikuti permainan mereka. Saya belum pernah nemui modus ini. Saya mau mengetahui trick mereka, apa yang mereka inginkan. Sehingga saya tidak matikan telepon, saya lanjutin permainan ini. Kalau pun nanti mereka minta transfer, ya ga bisa juga, orang saya ga punya uang sama sekali. Kalau saya dikriminalisasi, ya saya punya pembelaan. Gampang lah, let's do this game.

Terus terdengar suara seseorang, agak lebih besar dibanding orang tadi, "Halo? Dengan siapa ini?" jelas ini suara si satpam (atau penipu ya menjadi peran satpam).

"Andi," jawab saya.

"Oke, pak Andi. Ini tadi saudara bapak menemukan dompet bapak. Untuk memastikan, silahkan bapak datang ke sini untuk mengambilnya," suruh dia.

"Maaf saya lagi di luar kota, ga bisa," hihihi. saya sampaikan seperti yang sudah dibriefing tadi.

"Oh iya. Kalo gitu, ini saya mau ngecek apakah ini bener dompet bapak. Tolong pak Andi sebutkan isinya ada apa aja," minta dia.

Terus saya sebutin yang ada di catetan saya. Tapi ga hanya asal baca ya, saya juga sambil acting agak lupa gimana gitu. Misal saat menyebutkan kalung, saya pura-pura lupa berapa gramnya. Tapi meski demikian, si satpam malah melengkapinya, "20 gram pak."

Ini kan bertambah aneh ya. Kalau orang memang niat ngecek, ga mungkin dia malah mempermudah gitu. Dan dia sudah berhenti menanyakan setelah saya sebut barang-barang yang tercatat tadi. Kenapa si satpam ga tanya lebih detail lagi seperti foto di dompet itu fotonya siapa, rambutnya apa keriting atau luris, pake kemeja atau kaos, ini kan lebih valid ya?! Sepertinya si satpam ini ingin sekali saya mengakui dompet tersebut. Padahal dalam hati saya pingin dia menyimpulkan kalau saya bohong, dengan demikian si satpam bisa amankan aja dompet tersebut. Udah masalah kelar. Tapi tidak terjadi demikian.

"Baik pak, kalau begitu ini dompet Pak Andi. Nah ini saya serahkan ke saudaranya. Tapi saya mau bapak nyatat nomer HP saya, barangkali nanti dompetnya ga nyampe ke bapak, bisa hubungi saya. Ini nomer saya, 085262997652," katanya.

Saya catat. Kemudian sama seperti orang yang tadi, satpam ini juga menyuruh saya mengulangi catatan saya, memastikan nomer HP nya tidak keliru. "Nama saya Yoseph," imbuh dia tanpa saya minta.

Kemudian terdengar HP hendak dikembalikan lagi orang yang pertama tadi. Pikir saya, koq udah begitu aja. Ga minta saya transfer? Hmm, jangan-jangan habis gini mereka bilang ke saya kalau semua ini sandiwara. Atau jangan-jangan saya benar-benar dimanfaatkan agar si orang pertama tadi bisa mengakui dompet tadi? Tapi saya yakin si satpam tadi ga bener-bener satpam.

Terus si orang pertama kembali bicara, "Gimana Ndik?! Sudah ya berarti. Nah ini dompet sudah di tanganku, Kamu tenang aja. Tapi satpamnya ini minta uang rokok Ndik. Menurutmu, dikasih berapa?"

Hah, uang rokok?! Ya kasih aja 20 rebu kan udah dapat rokok satu cepet ya?! Tapi sepertinya rokok yang dimaksud ini adalah pasongan. Hmm, kalo begini saya ga ngerti. "Ya terserah lah."

"800 ribu aja ya?!" tanya dia minta persetujuan.

What?! Elu mau beli rokok apa pohon tembakau?! "Iya.. terserah," jawab saya yang udah kesal sama sandiwara ini. Pingin cepet selesai.

Kemudian terdengar suara samar-samar, "Pak ini ada uang 800 ribu dari saudara saya, sebagai ucapan terima kasih katanya." Namun tidak lama berselang, dia bilang kalau satpamnya ga mau dikasih uang cash, ada peraturan yang melarang dia. Terus dia ngasih telponnya lagi ke satpam.

"Pak Andi, kata saudara anda, anda mau memberikan uang sebagai ucapan terima kasih. Tapi mohon maaf pak, saya ga bisa nerima uang cash. Di sini ada aturannya, saya takut barangkali nanti ada yang negelaporin," kata satpamnya.

Nah, terus ini arahnya kemana ya. Kalau ga dikasih uang kan ya udah. Tapi dia melanjutkan ngomong, "Tapi kita pake solusi lain, bapak bisa transfer pulsa ke nomer saya. Udah dicatat tadi kan pak?! Itu bapak kirimin pulsa sejumlah 800 ribu."

Ooooohhhhh... Ini nih inti dari semuanya. Minta transfer pulsa. "Oh gitu," jawab saya terdengar agak nyengir.

"Iya pak. Kan bapak tadi mau ngucapin terima kasih, sedangkan saya ga bisa nerima cash, ini jalan tengahnya," katanya "tapi saya pingin bapak sendiri yang ngirimin, bukan saudaranya, karena saya pingin memastikan kalau dompet ini benar-benar punya bapak."

"Oh gitu..." respon saya semakin nyengir. Wkwkwk..

"Bapak berapa lama kira-kira bisa ngirimin pulsanya?" tanya dia.

"Satu jam," jawab saya, pingin mempermainkan mereka.


"Oh? Bisa dipercepat gak pak?" tanya satpamnya.

"Waduh, tetangga saya yang jual pulsa belum buka tuh," huahahaha, mampus, mau ngomong apa lu.

"Oh gitu.. Begini pak. Ini kondisinya, dompet bapak dan saudaranya saya tahan. Sampai saya memastikan bapak ngirimin pulsa itu. Jadi kalau bisa, tolong bapak percepat. Kan bisa pak belinya di indomaret atau di mana gitu, kan ada yang udah buka," nasehat dia.

"Oh gitu.." jawab saya super nyengir. Koq dia ga nyadar diri ya?! Kan tadi katanya itu uang terima kasih, koq jadinya dia maksa-maksa gitu. "Ya udah ini saya mau berangkat beli pulsa."

"Iya pak terima kasih," responnya, "bapak juga ga usah tutup telponnya. Nanti kalau sudah kirim pulsa, biar langsung bisa bilang ke saya kalau pulsa sudah terkirim."

"Iya," yaelah takut amat kagak saya kirimin pulsa. Wkwkwk.

Selanjutnya saya taruh HP di saku, tetap nyala, kagak saya tutup telponnya. Tapi saya jalan ke kamar mandi, cuci muka. Terus ambil gelas, minum. Buka rak makanan, saya makan. Hahahaha... mampus lu. Berikutnya dia mengakhiri panggilan. Beberapa saat kemudian dia telpon lagi, gak saya angkat.

Dari sini saya jadi tahu, ternyata kayak begitu ya modus penipuan. Sebenarnya gampang koq menghadapinya, gampang ketahuannya kalau itu cuma penipuan. Yang penting kita tetap tenang, pake akal sehat, dan jangan panik. Cara mengetahui itu penipuan atau tidak, lihat aja apakah mereka mau diajak mengikuti prosedur atau tidak. Biasanya mereka bersifat agak memaksakan kehendak pake cara mereka sendiri. Misal tadi, mereka ga mau ngasihkan aja dompetnya ke pihak berwenang, atau ga mau nunggu satu jam ditransfer pulsanya. Cerita lain juga ada teman saya, modus anaknya masuk UGD, minta transfer cepat, tapi mereka ga mau disuruh mengikuti prosedur pembayaran di rumah sakit bersangkutan. Jelas lah, yang namanya kebohongan tidak akan pernah bisa rukun sama peraturan yang dibuat untuk kejujuran.

Ciri berikutnya, lihat ujung sandiwaranya. Kalo penipuan, pasti berujunga pada "pribadi". Seperti transfer di rekening pribadi, isi pulsa di nomer pribadi. Mereka pasti ga mau diajak ke hal yang lebih publik. Ya iyalah, mereka ga mau ketahuan.

Tapi saya cukup terkesan dengan tebakan mereka yang bilang "Rudi, kakakmu". Koq bisa mereka tahu kalau saya punya kakak, dan namanya Rudi. Apakah mereka sebelumnya sudah melakukan riset terhadap diri saya atau bagaimana. Ataukah ini sekedar tebakan mereka. Ya ini hal yang masih belum saya ketahui. Tapi meskipun satu tebakan mereka benar, itu tidak untuk menutupi rangkaian kebohongan mereka.

Itu cerita pengalaman saya. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi teman-teman, biar lebih aware. Intinya tetaplah pake akal sehat, jangan panik. Dan tetaplah di jalan atau aturan yang benar. Orang baik pastilah dibimbing kepada kebaikan. Sebaliknya orang yang terbiasa melanggar kebaikan, tentu akan mudah terjerumus pada jalan-jalan ketidakjujuran.

Bagaimana dengan teman-teman, ada yang punya pengalaman serupa? Punya masukan atau tips lain dalam menghadapi penipuan? Monggo share di comment ya..

Komentar