Rata-rata kita menamatkan pendidikan sampai tingkat menengah atas. Beberapa orang sangat beruntung bisa sampai perguruan tinggi. Beberapanya lagi hanya mampu di pendidikan dasar. Tapi berapa dari kita yang bisa berkata "Aku siap hidup!" selepas dari pendidikan?
Untuk bisa siap hidup di tengah masyarakat, seseorang membutuhkan tiga hal: kecerdasan, keahlian, dan kepribadian.
Contoh saja teman saya. Dia punya bakat olah suara (juara lomba qira'ah, se-kampung sih hehehe). Kemampuan ini baru ketahuan saat dia SMP. Padahal sebelumnya saya dan guru ngajinya gak pernah menyangka kalau dia bisa ngaji seenak itu (soalnya dia suka bolos ngaji).
Keberadaan bakat ini sangat penting dalam kesuksesan hidup seseorang. Semakin cerdas seseorang, semakin besar peluang kesuksesan hidupnya. Karena hidup ini kan penuh dengan masalah, dan untuk menyelesaikan masalah dibutuhkan kecerdasan.
Contoh saja nih, taruhlah dua anak untuk menyelesaikan soal matematika. Keduanya sudah dibekali pelajaran matematika yang sama, namun satunya jenius dan satu lagi idiot. Mana yang akan lebih cepat menyelesaikan persoalannya?
Tapi tentu saja sekarang kita mengenal adanya variasi kecerdasan. Bakat tidak hanya tentang matematika atau olah vokal. Contoh saja teman saya tadi. Dalam hal akademis dan sikap sosial (akhlak baik), saya lebih cerdas darinya. Tapi dalam hal olah suara... kucing saya pernah ketakutan mendengar saya menyanyi, hihihi.
Kecerdasan sosial, emosional, kinestik, kepemimpinan, ada beragam tipe kecerdasan. Sehingga sebenarnya tidak layak ada istilah jenius dan idiot. Yang ada hanyalah "jenius dalam beberapa hal", dan "idiot dalam hal lain".
Tapi cerdas saja tidak cukup. Seorang anak yg punya potensi cerdas dalam hal pengobatan tapi tidak pernah sekolah kedokteran, tentu akan kalah dengan anak yang biasa-biasa saja tapi cukup mengenyam pendidikan tinggi ilmu kedokteran. Anak yang kedua ini lebih ahli, lebih tahu cara menyembuhkan berbagai penyakit daripada yang pertama.
Karenanya, menjadi kewajiban orang tua, institusi pendidikan, dan diri kita sendiri untuk mengenali bakat apa yang kita miliki. Dengan mengenalinya, kita akan bisa fokus mau membangun keahlian apa.
Contoh, bapak saya bisa membuat perencanaan atau desain rumah kayak gimana yang mau dia bangun. Mulai dari berapa kamar, berapa batu bata yang dibutuhkan, dan sebagainya. Kemampuan ini beliau dapatkan dari pengalamannya yang pernah menjadi kuli bangunan sewaktu muda dulu. Tapi coba bandingkan kemampuan desainnya bapak saya, dengan kemampuannya para arsitektur perancang gedung megah di Dubai... Hahaha, jauh pak!
Seorang yang ahli, dia tidak hanya sekedar "bisa menyelesaikan masalah", tapi juga bisa menyelesaikan masalah walaupun tingkat variasi kondisi masalahnya diubah.
Contoh, bapak saya mungkin bisa membuat desain rumah, tapi hanya jika kondisi rumahnya berada di lingkungan sekitarnya. Tapi apakah beliau bisa mendesain rumah, yang harus sesuai dengan lingkungan padang pasir, rawan gempa, banjir, dan sebagainya. Saya yakin hanya para arsitek yang bisa merancangnya.
Inilah kenapa orang yang memiliki keahlian akan lebih siap untuk hidup. Dengan keahliannya, dia siap menghadapi masalah apapun (sesuai bidang keahliannya), meskipun tingkat kerumitan masalahnya diubah-ubah. Orang yang tidak punya keahlian, akan kelabakan jika dihadapkan pada masalah yang berbeda dari apa yang diharapkannya.
Tapi cerdas dan ahli saja tidak cukup untuk bisa sukses dalam hidup. Berapa banyak kita lihat para pejabat, yang pintar, berkemampuan, melejit karirnya, namun harus jatuh miskin karena terlibat kasus seperti korupsi. Apa yang menjadikan mereka gagal?
Di era milenial begini, godaan nafsu jadi luar biasa. Dalam hal makan, seseorang tidak lagi hanya dituntut untuk sekedar makan, tapi juga harus "makan yang kekinian". Di satu sisi, ini suatu hal yang positif karena menunjukkan bentuk kemajuan peradaban kita. Tapi di sisi lain?
Bagi beberapa orang yang tidak siap sumber daya, akan kelabakan menuruti gaya hidup yang demikian. Akan ada orang yang menghalalkan segala cara, mencuri, merampas, agar bisa membeli kuota. Yang lain akan menyerah, mengasingkan diri, merasa tidak lagi bisa bersaing dalam kehidupannya. Lama-kelamaan orang-orang seperti ini akan tersingkir, berakhir di penjara atau tubuh tercerai di rel kereta.
Di sinilah satu komponen lagi dibutuhkan di samping kecerdasan dan keahlian, yaitu kepribadian. Seorang pribadi yang teguh, moralitas yang baik, akhlakul karimah, akan mencegah seseorang menggunakan kecerdasannya untuk keburukan. Bahkan kepribadian yang kuat, juga bisa membangun kecerdasan dan keahlian.
Entah menurut anda, tapi bagi saya Thomas A. Edison itu bukan termasuk orang yang cerdas dalam fisika. Seribu kegagalan dalam uji coba bola lampu itu menunjukkan kurang ahlinya dia dalam bidang itu. Tapi apa yang membuat dia berhasil adalah kepribadiannya, pribadi yang ulet dan sabar.
Sesulit apapun masalah yang kita hadapi, jika kita sabar, insya Allah akan bisa menemukan jalan keluarnya. Dan seberat apapun bebannya, jika memiliki keuletan, akan menemukan cara untuk meringankannya.
Sayangnya, kebanyakan kita mengenyam pendidikan yang kurang mengajarkan aspek moral ini. Kebanyakan kita dijejali teori-teori struktur bahasa, rumus fisika, perhitungan angka, teori sosial, gaya berenang, yang kadang kita tidak tahu apa kegunaannya bagi hidup kita. Pelajaran moral hanya diajarkan di mata pelajaran agama dan kewarganegaraan. Itu pun hanya text-book semata tanpa penerapan.
Namun demikian, saya mengapresiasi langkah pemerintah yang kini mulai menerapkan kurikulum 2013. Cukup bagus, karena pengajarannya cukup menyeimbangkan antara aspek teori dan pengamalan di kehidupan sehari-hari. Hanya saja, memang masih banyak cacat dalam penerepan K13 ini. Bukan karena isi kurikulumnya, tapi lebih karena perangkat pendidikannya seperti pengajar, sistem, dan sarana pendukungnya yang masih gagal move-on dari mantan kurikulum yang lama.
Jika belum terbentuk kesiapan pada diri kita, maka ada yang salah dari proses pendidikan yang kita jalani. Namun jangan melulu menyalahkan institusi pendidikan, karena bisa jadi yang salah adalah diri kita sendiri yang telah memilihnya, atau tidak menjalani proses pendidikannya secara benar.
Lalu apa yang bisa dilakukan jika kita gagal dalam pendidikan, sedangkan usia sudah terlanjur bukan remaja lagi? Tentu saja belajar, jalani proses pendidikan lagi. Pendidikan itu tidak hanya sekolah (ini hanya salah satu jenis pendidikan). Ada juga pendidikan non-formal (kejar paket, kursus) dan informal (di rumah, lingkungan alam). Pendidikan tidak terbatas lembaga dan usia.
Pernah dengar istilah Doctor Honoris Causa? Ini adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang tidak menjalani pendidikan doctoral secara formal. Tapi berkat banyaknya pengalaman dan karya-karya yang dihasilkannya, dia diakui memiliki kecerdasan dan keahlian yang setara seorang doctor.
Salah satu menteri kita, beliau hanya tamatan SMA. Tapi lihat kemampuannya dalam memimpin lembaga kementriannya! Keahlian beliau ini tentu tidak didapatkan dari lembaga pendidikan formal saja, tapi lebih banyak dari pendidikan informalnya. Di dalam keseharian, di dalam setiap masalah hidupnya, selalu memberikan pendidikan yang berharga.
So, keep learning! Kenali kecerdasan kita, miliki keahlian, dan bangun kepribadian. Selanjutnya kita harus siap menjalani kehidupan yang menanti di depan mata.
Saya ingat dulu sangat ketakutan ketika lulus SMA, khawatir apakah sudah bisa bekerja atau masih saja bergantung pada orang tua. Sekarang menjelang kelulusan kuliah saya, dan masih ada kekhawatiran yang sama.Menurut saya, pendidikan itu proses mempersiapkan seorang individu untuk menjalani kehidupan di masyarakat. Setiap bayi yang baru lahir, butuh dididik agar dia menjadi dewasa, siap berkontribusi untuk masyarakatnya, dan tidak hanya bergantung pada orang lain. Jika sebuah pendidikan tidak mampu mempersiapkan individu untuk "hidup", maka itu bukanlah pendidikan yang baik, lebih mirip seperti penitipan anak saja.
Untuk bisa siap hidup di tengah masyarakat, seseorang membutuhkan tiga hal: kecerdasan, keahlian, dan kepribadian.
Kecerdasan
Mungkin lebih familiar kita kenal sebagai "bakat". Ini merupakan kemampuan dasar dan potensial yang dimiliki seseorang. Kenapa saya bilang potensial? Karena kemampuan ini bisa saja tidak keluar, namun tetap ada pada diri orang tersebut.Contoh saja teman saya. Dia punya bakat olah suara (juara lomba qira'ah, se-kampung sih hehehe). Kemampuan ini baru ketahuan saat dia SMP. Padahal sebelumnya saya dan guru ngajinya gak pernah menyangka kalau dia bisa ngaji seenak itu (soalnya dia suka bolos ngaji).
Keberadaan bakat ini sangat penting dalam kesuksesan hidup seseorang. Semakin cerdas seseorang, semakin besar peluang kesuksesan hidupnya. Karena hidup ini kan penuh dengan masalah, dan untuk menyelesaikan masalah dibutuhkan kecerdasan.
Contoh saja nih, taruhlah dua anak untuk menyelesaikan soal matematika. Keduanya sudah dibekali pelajaran matematika yang sama, namun satunya jenius dan satu lagi idiot. Mana yang akan lebih cepat menyelesaikan persoalannya?
Tapi tentu saja sekarang kita mengenal adanya variasi kecerdasan. Bakat tidak hanya tentang matematika atau olah vokal. Contoh saja teman saya tadi. Dalam hal akademis dan sikap sosial (akhlak baik), saya lebih cerdas darinya. Tapi dalam hal olah suara... kucing saya pernah ketakutan mendengar saya menyanyi, hihihi.
Kecerdasan sosial, emosional, kinestik, kepemimpinan, ada beragam tipe kecerdasan. Sehingga sebenarnya tidak layak ada istilah jenius dan idiot. Yang ada hanyalah "jenius dalam beberapa hal", dan "idiot dalam hal lain".
Tapi cerdas saja tidak cukup. Seorang anak yg punya potensi cerdas dalam hal pengobatan tapi tidak pernah sekolah kedokteran, tentu akan kalah dengan anak yang biasa-biasa saja tapi cukup mengenyam pendidikan tinggi ilmu kedokteran. Anak yang kedua ini lebih ahli, lebih tahu cara menyembuhkan berbagai penyakit daripada yang pertama.
Karenanya, menjadi kewajiban orang tua, institusi pendidikan, dan diri kita sendiri untuk mengenali bakat apa yang kita miliki. Dengan mengenalinya, kita akan bisa fokus mau membangun keahlian apa.
Keahlian
Keahlian berbeda dari kemampuan. Keduanya sih sama-sama didapatkan dari proses belajar menjadi "bisa", tapi berbeda dari sisi "derajat kebisaan"-nya.Contoh, bapak saya bisa membuat perencanaan atau desain rumah kayak gimana yang mau dia bangun. Mulai dari berapa kamar, berapa batu bata yang dibutuhkan, dan sebagainya. Kemampuan ini beliau dapatkan dari pengalamannya yang pernah menjadi kuli bangunan sewaktu muda dulu. Tapi coba bandingkan kemampuan desainnya bapak saya, dengan kemampuannya para arsitektur perancang gedung megah di Dubai... Hahaha, jauh pak!
Seorang yang ahli, dia tidak hanya sekedar "bisa menyelesaikan masalah", tapi juga bisa menyelesaikan masalah walaupun tingkat variasi kondisi masalahnya diubah.
Contoh, bapak saya mungkin bisa membuat desain rumah, tapi hanya jika kondisi rumahnya berada di lingkungan sekitarnya. Tapi apakah beliau bisa mendesain rumah, yang harus sesuai dengan lingkungan padang pasir, rawan gempa, banjir, dan sebagainya. Saya yakin hanya para arsitek yang bisa merancangnya.
Inilah kenapa orang yang memiliki keahlian akan lebih siap untuk hidup. Dengan keahliannya, dia siap menghadapi masalah apapun (sesuai bidang keahliannya), meskipun tingkat kerumitan masalahnya diubah-ubah. Orang yang tidak punya keahlian, akan kelabakan jika dihadapkan pada masalah yang berbeda dari apa yang diharapkannya.
Tapi cerdas dan ahli saja tidak cukup untuk bisa sukses dalam hidup. Berapa banyak kita lihat para pejabat, yang pintar, berkemampuan, melejit karirnya, namun harus jatuh miskin karena terlibat kasus seperti korupsi. Apa yang menjadikan mereka gagal?
Kepribadian
"Perjuangan di masa saya lebih mudah, karena musuhnya kelihatan di depan mata. Tapi perjuangan kalian, para generasi penerus, akan jauh lebih sulit. Karena yang kalian hadapi adalah diri sendiri."Saya beberapa kali mendengar quote serupa ini, dan diucapkan oleh beberapa sosok teladan seperti Rasulullah SAW, Soekarno, dan pahlawan lainnya.
Di era milenial begini, godaan nafsu jadi luar biasa. Dalam hal makan, seseorang tidak lagi hanya dituntut untuk sekedar makan, tapi juga harus "makan yang kekinian". Di satu sisi, ini suatu hal yang positif karena menunjukkan bentuk kemajuan peradaban kita. Tapi di sisi lain?
Bagi beberapa orang yang tidak siap sumber daya, akan kelabakan menuruti gaya hidup yang demikian. Akan ada orang yang menghalalkan segala cara, mencuri, merampas, agar bisa membeli kuota. Yang lain akan menyerah, mengasingkan diri, merasa tidak lagi bisa bersaing dalam kehidupannya. Lama-kelamaan orang-orang seperti ini akan tersingkir, berakhir di penjara atau tubuh tercerai di rel kereta.
Di sinilah satu komponen lagi dibutuhkan di samping kecerdasan dan keahlian, yaitu kepribadian. Seorang pribadi yang teguh, moralitas yang baik, akhlakul karimah, akan mencegah seseorang menggunakan kecerdasannya untuk keburukan. Bahkan kepribadian yang kuat, juga bisa membangun kecerdasan dan keahlian.
Entah menurut anda, tapi bagi saya Thomas A. Edison itu bukan termasuk orang yang cerdas dalam fisika. Seribu kegagalan dalam uji coba bola lampu itu menunjukkan kurang ahlinya dia dalam bidang itu. Tapi apa yang membuat dia berhasil adalah kepribadiannya, pribadi yang ulet dan sabar.
Sesulit apapun masalah yang kita hadapi, jika kita sabar, insya Allah akan bisa menemukan jalan keluarnya. Dan seberat apapun bebannya, jika memiliki keuletan, akan menemukan cara untuk meringankannya.
Sayangnya, kebanyakan kita mengenyam pendidikan yang kurang mengajarkan aspek moral ini. Kebanyakan kita dijejali teori-teori struktur bahasa, rumus fisika, perhitungan angka, teori sosial, gaya berenang, yang kadang kita tidak tahu apa kegunaannya bagi hidup kita. Pelajaran moral hanya diajarkan di mata pelajaran agama dan kewarganegaraan. Itu pun hanya text-book semata tanpa penerapan.
Namun demikian, saya mengapresiasi langkah pemerintah yang kini mulai menerapkan kurikulum 2013. Cukup bagus, karena pengajarannya cukup menyeimbangkan antara aspek teori dan pengamalan di kehidupan sehari-hari. Hanya saja, memang masih banyak cacat dalam penerepan K13 ini. Bukan karena isi kurikulumnya, tapi lebih karena perangkat pendidikannya seperti pengajar, sistem, dan sarana pendukungnya yang masih gagal move-on dari mantan kurikulum yang lama.
Kesimpulan
Itulah tiga aspek penting yang menjadi standar berhasil atau tidaknya suatu proses pendidikan. Tanyakan pada diri kita, apakah kita sudah memiliki tiga aspek itu? Apakah kita merasa sudah siap menghadapi hidup?Jika belum terbentuk kesiapan pada diri kita, maka ada yang salah dari proses pendidikan yang kita jalani. Namun jangan melulu menyalahkan institusi pendidikan, karena bisa jadi yang salah adalah diri kita sendiri yang telah memilihnya, atau tidak menjalani proses pendidikannya secara benar.
Lalu apa yang bisa dilakukan jika kita gagal dalam pendidikan, sedangkan usia sudah terlanjur bukan remaja lagi? Tentu saja belajar, jalani proses pendidikan lagi. Pendidikan itu tidak hanya sekolah (ini hanya salah satu jenis pendidikan). Ada juga pendidikan non-formal (kejar paket, kursus) dan informal (di rumah, lingkungan alam). Pendidikan tidak terbatas lembaga dan usia.
Pernah dengar istilah Doctor Honoris Causa? Ini adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang tidak menjalani pendidikan doctoral secara formal. Tapi berkat banyaknya pengalaman dan karya-karya yang dihasilkannya, dia diakui memiliki kecerdasan dan keahlian yang setara seorang doctor.
Salah satu menteri kita, beliau hanya tamatan SMA. Tapi lihat kemampuannya dalam memimpin lembaga kementriannya! Keahlian beliau ini tentu tidak didapatkan dari lembaga pendidikan formal saja, tapi lebih banyak dari pendidikan informalnya. Di dalam keseharian, di dalam setiap masalah hidupnya, selalu memberikan pendidikan yang berharga.
So, keep learning! Kenali kecerdasan kita, miliki keahlian, dan bangun kepribadian. Selanjutnya kita harus siap menjalani kehidupan yang menanti di depan mata.
Komentar
Posting Komentar